KUFUR

Kufur secara bahasa berarti menutupi, sedangkan menurut syara’ berarti tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.

1. Kufur Besar

Perbuatan kufur besar dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Adapun jenis-jenis kufur, yaitu:

Pertama, kufur karena mendustakan, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau mendustakan kebenaran tatkala yang haq itu datang kepadanya? Bukankah dalah neraka jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?” (QS. Al-Ankabut: 68)

Kedua, kufur karena enggan dan sombong, padahal ia membenarkannya. “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Tunduklah kamu kepada Adam.’ Lalu mereka tunduk kecuali iblis, ia enggan dan congkak. Dan ia adalah termasuk orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Ketiga, kufur karena ragu.

Keempat, kufur karena berpaling, “Dan orang-orang kafir itu berpaling dari peringatan yang disampaikan kepada mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 3)

Kelima, kufur karena nifaq, “Yang demikian itu adalah karena mereka beriman (secara lahirnya), lalu kafir (secara batinnya), kemudian hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti.” (Al-Munafiqun: 3)

2. Kufur Kecil

Kufur kecil yaitu kufur yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, serta ia termasuk kufur amali. Kufur amali ialah dosa-dosa yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar, seperti kufur nikmat dan sebagainya. “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83)

Termasuk juga membunuh kaum muslimin, “Mencaci orang Islam adalah suatu kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah suatu kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian juga dengan bersumpah dengan nama selain Allah, “Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur dan syirik.” (HR. At-Tirmidzi)

Namun demikian, Allah tetap menjadikan para pelaku dosa tersebut sebagai orang-orang yang beriman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah: 178)

Dengan demikian, maka perbedaan antara kufur besar dan kufur kecil yaitu:

1. Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan pahala dari amal-amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam dan tidak pula menghapus pahala amal-amalnya, tetapi bisa mengurangi pahala sesuai dengan kadar kekufuran yang dilakukannya serta pelakunya tetap dikenai ancaman.

2. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal dalam neraka, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya kekal di neraka. Bahkan bisa saja Allah mengampuni pelaku dari kufur kecil tersebut sehingga ia pun tidak masuk ke dalam neraka.

3. Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak dikenai sanksi demikian.

4. Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesungguhnya, antara pelakunya dengan orang-orang beriman. Kaum mukmin tidaklah boleh mencintai dan setia kepadanya, walaupun ia adalah keluarga dekat. Adapun kufur kecil, maka pelakunya tetap dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, serta dibenci sesuai dengan kadar kemaksiatan yang dilakukannya.
 

5/25/2012

0 Comments

 
Sumber:
Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid 3: Darul Haq (belajar Islam)

 http://saga-islamicnet.blogspot.com/2010/06/penyimpangan-dalam-kehidupan-manusia.html#ixzz1gKWco4kZ

 

Pada asalnya, manusia adalah makhluk yang bertauhid, sehingga tauhid merupakan bagian dari fitrah yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (QS. Ar-Rum: 30)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (beragama Islam), maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karenanya, syirik merupakan unsur luar yang menyusup terhadap fitrah tersebut. Peristiwa penyimpangan terhadap ketauhidan pertama kali adalah terjadi pada kaum Nuh. Mereka menyembah patung-patung. Lalu datanglah Amir bin Luhay Al-Khuza’I yang mengubah agama Ibrahim serta membawa patung-patung ke tanah Arab, khususnya tanah Hijaz, sehingga kemudian patung-patung itu pun disembah. Selanjutnya, perbuatan syirik itu menyebar ke negeri suci tersebut dan negeri-negeri tetangganya, hingga akhirnya Allah mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyeru manusia kepada tauhid dan mengikuti agama Ibrahim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menghancurkan patung-patung yang menjadi sesembahan pada masa jahiliah, hingga kemudian tanah Arab bersih dari berhala sehingga Allah kemudian menyempurnakan nikmat-Nya untuk segenap alam. Suasana ketauhidan yang penuh berkah pun terus dipelihara oleh generasi-generasi awal yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Sampai kemudian kebodohan dalam masalah agama merajalela pada generasi-generasi akhir dan agama pun terasuki oleh pemahaman-pemahaman asing.



Manusia secara umum mengakui tauhid rububiyah, yaitu meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah adalah yang menciptakan dan mengatur keberadaan alam semesta beserta isinya. Manusia yang mengingkari tauhid rububiyah ini sangatlah sedikit, seperti Fir’aun, orang atheis atau komunis. Akan tetapi, pengingkaran terhadap rububiyah tersebut bukanlah karena mereka tidak meyakini bahwa ada Dzat yang Maha Kuasa yang menciptakan alam semesta ini, namun lebih karena kesombongan yang ada dalam diri mereka sendiri, “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya.” (QS. An-Naml: 14)

 
Aqidah adalah sesuatu yang dianut oleh manusia dan diyakininya baik berwujud agama dan yang lainnya. Aqidah secara etimologi berarti ikatan atau sangkutan. Dan secara terminologi berarti creedo creed, yaitu keyakinan hidup. Iman dalam arti yang khusus, yakni pengikraran yang bertolak dari hati.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pengertian keimanan atau aqidah itu tersusun dari enam perkara, yaitu:

1.    Ma’rifat kepada Allah

2.    Ma’rifat kepada para Malaikat

3.    Ma’rifat kepada kitab-kitab Allah

4.    Ma’rifat kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul Allah

5.    Ma’rifat kepada hari akhir

6.    Ma’rifat kepada takdir.

Allah SWT befirman dalam surah Al-Anfaal:2-4 tentang pentingnya manusia beriman kepada Tuhan.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ O الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ O أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ O

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan sholat dan yang menafkahkan sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”.

Akidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan dengan lisan dalam bentuk dua kalimah syahadat, diwujudkan dalam perbuatan dengan amal shaleh. Akidah dalam Islam harus berpengaruh pada segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Sehingga aktivitas tersebut dapat bernilai ibadah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aqidah dalam Islam tidak hanya sekadar keyakinan dalam hati, melainkan tahap lanjutan yang akan menjadi acuan dan dasar dalam bertingkah laku, serta berbuat yang pada akhirnya akan menghasilkan amal shaleh.

Sumber :

Anshari, Endang Saifuddin. 1983. Wawasan islam. Bandung : Pustaka.

Karya referensi umum : Aspek-aspek Ajaran Islam, anonim.

5/25/2012

0 Comments

 
Mungkin ada yang berkomentar, shalat taraweh telah berlalu, kenapa masih dibahas ? Komentar seperti ini, sungguh tidak benar. Tidak benar shalat taraweh telah berlalu, masih terus setiap tahun selama 12 bulan dan tetap perlu terus dikaji kebenarannya.

Pada tulisan ini, hanya merespon pernyataan sdr Azhari A.Tarigan dan ulama lain pada tulisannya (koran Waspada 3 September 2009 “Tasbih Ramadhan“, kolom 2 baris 12-20), dan beserta dakwah ulama lain di masjid/TV, yang mereka menyatakan, “shalat taraweh 11 rakaat atau 23 rakaat, tak perlu dibahas (diperdebatkan).

Berarti terkesan seolah-olah menganggap 11 rakaat atau 23 rakaat sama saja. Mau pilih mana silakan mau 11 rakaat atau 23 rakaat. Pernyataan seperti ini sangat perlu diluruskan, tidak boleh dibiarkan karena dapat merusak akidah. Yang membuat kita kesal, anggapan tersirat yang bernada “sama saja“ dan tak perlu dibahas (diperdebatkan).

Kenapa tidak perlu ? Itu sangat perlu agar tau yang 11 rakaat dari siapa dan yang 23 rakaat dari siapa. Anggapan tersirat yang bernada “sama saja“ ini, sepintas lalu masaalah sederhana. Tapi bila dikaji lebih dalam, jelas tidak sederhana, karena berakibat bagi orang yang menerima kata itu menjadi pedoman, akan menanam bibit di hati/di pikiran seseorang bahwa Nabi SAW itu dan ulama itu setara (setingkat) di dalam ajaran Islam (di dalam hak menciptakan ibadah).

Padahal Muhammad SAW itu tidaklah berbuat kecuali atas petunjuk/bimbingan Allah SWT. Apa yang diterima Muhammad SAW adalah wahyu yang diwahyukan dari Allah SWT. Sedangkan apa yang diciptakan ulama adalah dari pemikiran mereka. Janganlah sampai ada ulama berani menyatakan apa yang diciptakan Nabi SAW (11 rakaat), dianggap nilainya sama dengan ciptaan ulama (23 rakaat).

Kalau ada ulama menyatakan demikian, ini merusak aqidah dan tantangannya rukun iman yaitu: “percaya pada Allah“ dan “percaya pada Rasul“. Penegasan dari rukun iman ini dijelaskan pada QS An-Nisa’ 59 ; Allah SWT berfirman: “Apabila kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalilah (rujuklah) kepada Allah (Al- Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah) ....“.

Tidak disuruh oleh Allah SWT: kembali (ambil) dari ulama !!! Atau juga dikuatkan pada HR Muslim adalah Kitabulah (Al-Qur’an/Allah SWT), dan semulia-mulianya petunjuk adakah petunjuk Muhammad SAW (Sunnah) ....




5/25/2012

0 Comments