Etika Makan dan Minum Berdasarkan Sunnah Rasulallah

Makan dan minum dalam ajaran islam banyak hal yang perlu anda perhatikan. Janganlah terbiasa dengan etika perilaku makan dan minum yang salah, karena dalam syariat islam sudah menjelaskan lebih detail apa itu etika makan dan minum yang benar sesuai dengan sunnah Rasulullah.

Berbagai situs di internet menampilkan kulasan menarik etika makan dan minum berdasarkan sunnah Rasulullah part 1 dengan gaya penulisan dan bahasan yang berbeda. Blogiztic akan mengulas etika makan dan minum berdasarkan sunnah Rasulullah part 1 beserta hadisnya sebagai berikut.

Makanan halal
Berupaya untuk mencari makanan yang halal. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang beriman, makanlah diantara rizky yang baik-baik, yang kami berikan kepadamu”. (Al Baqarah:172)

Berniat
Hendaklah makan dan minum yang kita lakukan diniati agar bisa dapat beribadah kepada Allah dan juga mendapatkan ridho akan makanan dan minuman yang kita dapatkan.

Mencuci tangan
Perlu anda ketahui para pembaca blogiztic, hendaknya mencuci tangan sebelum makan dan membersihkan makan sesudah menyatap hidangan makanan.

Kepuasan dan rela
Hendaknya kamu puas dan rela dengan makanan dan minuman yang ada, dan jangan sekali-kali mencelanya. Abu Hurairah dalam hadisnya menuturkan: “Rasulullah sama sekali tidak pernah mencela makanan. pabila ia suka sesuatu ia makan, dan apabila ia tidak sesuatu maka ia tinggalkan.

Hindari makan sambil bersandar
Hendaknya makan jangan sambil bersandar dan juga membungkuk. Rasullah bersabda: “Aku tidak makan sedangkan aku hanya bersandar”. (HR. Bukhari). Dan didalam hadisnya Ibu Umar menuturkan: “Rasulullah melarang dua tempat untuk makan, yaitu duduk di meja minum khamer dan makan sambil menyungkur”. (HR Abu Daud disahihkan oleh Al-Albani).

 


http://id.wikipedia.org/wiki/Akhlak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.[1]

Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.[2]

Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah peragai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.[3]

Definisi

Kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja.[4] Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat.[2] Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah pencerminan dari akhlak.[2]

Dalam Encyclopedia Brittanica[5], akhlak disebut sebagai ilmu akhlak yang mempunyai arti sebagai studi yang sistematik tentang tabiat dari pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebaginya tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga sebagai filsafat moral.[2]

Syarat

Ada empat hal yang harus ada apabila seseorang ingin dikatakan berakhlak.[2]

  1. Perbuatan yang baik atau buruk.
  2. Kemampuan melakukan perbuatan.
  3. Kesadaran akan perbuatan itu
  4. Kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan perbuatan baik atau buruk
Sumber

Akhlak bersumber pada agama.[2] Peragai sendiri mengandung pengertian sebagai suatu sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang.[2] Pembentukan peragai ke arah baik atau buruk, ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar, yaitu kondisi lingkungannya.[2] Lingkungan yang paling kecil adalah keluarga, melalui keluargalah kepribadian seseorang dapat terbentuk. Secara terminologi akhlak berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.[2] Para ahli seperti Al Gazali menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Peragai sendiri mengandung pengertian sebagai suatu sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang.[2]

Tolong-menolong merupakan salah satu akhlak baik terhadap sesama

Budi pekerti

Budi pekerti pada kamus bahasa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata budi dan pekerti [1]. Budi berarti sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran.[2] Pekerti berarti kelakuan.[2] Secara terminologi, kata budi ialah yang ada pada manusia yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut dengan nama karakter.[2] Sedangkan pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut behavior.[2] Jadi dari kedua kata tersebut budipekerti dapat diartikan sebagai perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.[2] Penerapan budi pekerti tergantung kepada pelaksanaanya.[2] Budi pekerti dapat bersifat positif maupun negatif.[2] Budi pekerti itu sendiri selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Budi pekerti didorong oleh kekuatan yang terdapat di dalam hati yaitu rasio.[2] Rasio mempunyai tabiat kecenderungan kepada ingin tahu dan mau menerima yang logis, yang masuk akal dan sebaliknya tidak mau menerima yang analogis, yang tidak masuk akal.[2]

Selain unsur rasio di dalam hati manusia juga terdapat unsur lainnya yaitu unsur rasa.[2] Perasaan manusia dibentuk oleh adanya suatu pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan suasana lingkungan.[2] Rasa mempunyai kecenderungan kepada keindahan [2] Letak keindahan adalah pada keharmonisan susunan sesuatu, harmonis antara unsur jasmani dengan rohani, harmonis antara cipta, rasa dan karsa, harmonis antara individu dengan masyarakat, harmonis susunan keluarga, harmonis hubungan antara keluarga.[2] Keharmonisan akan menimbulkan rasa nyaman dalam kalbu dan tentram dalam hati.[2] Perasaan hati itu sering disebut dengan nama “hati kecil” atau dengan nama lain yaitu “suara kata hati”, lebih umum lagi disebuut dengan nama hati nurani.[2] Suara hati selalu mendorong untuk berbuat baik yang bersifat keutamaan serta memperingatkan perbuatan yang buruk dan brusaha mencegah perbuatan yang bersifat buruk dan hina.[2] Setiap orang mempunyai suara hati, walaupun suara hati tersebut kadang-kadang berbeda. [6]. Hal ini disebabkan oleh perbedaan keyakinan, perbedaan pengalaman, perbedaan lingkungan, perbedaan pendidikan dan sebagainya. Namun mempunyai kesamaan, yaitu keinginan mencapai kebahagiaan dan keutamaan kebaikan yang tertinggi sebagai tujuan hidup.[2]

 

Karsa

Dalam diri manusia itu sendiri memiliki karsa yang berhubungan dengan rasio dan rasa.[2] Karsa disebut dengan kemauan atau kehendak, hal ini tentunya berbeda dengan keinginan.[2] Keinginan lebih mendekati pada senang atau cinta yang kadang-kadang berlawanan antara satu keinginan dengan keinginan lainnya dari seseorang pada waktu yang sama, keinginan belum menuju pada pelaksanaan.[2] Kehendak atau kemauan adalah keinginan yang dipilih di antara keinginan-keinginan yang banyak untuk dilaksanakan.[2] Adapun kehendak muncul melalui sebuah proses sebagai berikut[7]:

  • Ada stimulan kedalam panca indera
  • Timbul keinginan-keinginan
  • Timbul kebimbangan, proses memilih
  • Menentukan pilihan kepada salah satu keinginan
  • Keinginan yang dipilih menjadi salah satu kemauan, selanjutnya akan dilaksanakan.
Perbuatan yang dilaksanakan dengan kesadaran dan dengan kehendaklah yang disebut dengan perbuatan budi pekerti.[1]

Moral

Moral, etika dan akhlak memiliki pengertian yang sangat berbeda. Moral berasal dari bahasa latinyaitu mos, yang berarti adat istiadat yang menjadi dasar untuk mengukur apakah perbuatan seseorang baik atau buruk [8]. Dapat dikatakan baik buruk suatu perbuatan secara moral, bersifat lokal. Sedangkan akhlak adalah tingkah laku baik, buruk, salah benar, penilaian ini dipandang dari sudut hukum yang ada di dalam ajaran agama. Perbedaan dengan etika, yakni Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Etika terdiri dari tiga pendekatan, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika [9]. Kaidah etika yang biasa dimunculkan dalam etika deskriptif adalah adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Sedangkan kaidah yang sering muncul dalam etika normatif, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma, serta hak dan kewajiban. Selanjutnya yang termasuk kaidah dalam metaetika adalah ucapan-ucapan yang dikatakan pada bidang moralitas. Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa etika adalah ilmu, moral adalah ajaran, dan akhlak adalah tingkah laku manusia [10].

Pembagian Akhlak

Akhlak Baik (Al-Hamidah)

1. Jujur (Ash-Shidqu)

2. Berprilaku baik (Husnul Khuluqi)

3. Malu (Al-Haya')

4. Rendah hati (At-Tawadlu')

5. Murah hati (Al-Hilmu)

6. Sabar (Ash-Shobr)

Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, semoga Allah merelakannya, berkata, "Rasulullah SAW. bersabda", "Ketika Allah mengumpulkan segenap makhluk pada hari kiamat kelak, menyerulah Penyeru", "Di manakah itu, orang-orang yang utama (ahlul fadhl) ?". Maka berdirilah sekelompok manusia, jumlah mereka sedikit, dengan cepatnya mereka bergegas menuju syurga, para malaikat berpapasan dengan mereka, lalu menyapa mereka. "Kami lihat kalian begitu cepat menuju syurga, sipakah kalian ?". Orang-orang ini menjawab, "Kamilah itu orang-orang yang utama (ahlul fadhl)". "Apa keutamaan kalian ?", tanya para malaikat. Orang-orang ini memperjelas, "Kami, jika didzalimi, kami bersabar. Jika diperlakukan buruk, kami memaafkan. Jika orang lain khilaf pada kami, kamipun tetap bermurah hati". Akhirnya dikatakan pada mereka, "Masuklah ke dalam syurga, karena demikian itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal". Setelah itu menyerulah lagi penyeru, :"Di manakan itu, orang-orang yang bersabar (ahlush shabr) ?". Maka berdirilah sekelompok manusia, jumlah mereka sedikit, dengan cepatnya mereka bergegas menuju syurga, para malaikat berpapasan dengan mereka, lalu menyapa mereka. "Kami lihat kalian begitu cepat menuju syurga, sipakah kalian ?". Orang-orang ini menjawab, "Kamilah itu orang-orang yang sabar (ahlush shabr). "Kesabaran apa yang kalian maksud ?", tanya para malaikat. Orang-orang ini memperjelas, "Kami sabar bertaat pada Allah, kamipun sabar tak bermaksiat padaNya. Akhirnya Dikatakan pada mereka, "Masuklah ke dalam syurga, karena demikian itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal". (Hilyatul Auliyaa'/ Juz III/ Hal. 140)

Akhlak Buruk (Adz-Dzamimah)

Ruang Lingkup Akhlak

Akhlak pribadi

Yang paling dekat dengan seseorang itu adalah dirinya sendiri, maka hendaknya seseorang itu menginsyafi dan menyadari dirinya sendiri, karena hanya dengan insyaf dan sadar kepada diri sendirilah, pangkal kesempurnaan akhlak yang utama, budi yang tinggi. Manusia terdiri dari jasmani dan rohani, disamping itu manusia telah mempunyai fitrah sendiri, dengan semuanya itu manusia mempunyai kelebihan dan dimanapun saja manusia mempunyai perbuatan.[1]

Akhlak berkeluarga

Akhlak ini meliputi kewajiban orang tua, anak, dan karib kerabat. Kewajiban orang tua terhadap anak, dalam islam mengarahkan para orang tua dan pendidik untuk memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran –ajaran yang bijak, setiap agama telah memerintahkan kepada setiap oarang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dan mendidik, terutama bapak-bapak dan ibu-ibu untuk memiliki akhlak yang luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang. Sehingga anak akan tumbuh secara sabar, terdidik untuk berani berdiri sendiri, kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga diri, kehormatan dan kemuliaan.[1]

Seorang anak haruslah mencintai kedua orang tuanya karena mereka lebih berhak dari segala manusia lainya untuk engkau cintai, taati dan hormati.[1] Karena keduanya memelihara,mengasuh, dan mendidik, menyekolahkan engkau, mencintai dengan ikhlas agar engkau menjadi seseorang yang baik, berguna dalam masyarakat, berbahagia dunia dan akhirat.[1] Dan coba ketahuilah bahwa saudaramu laki-laki dan permpuan adalah putera ayah dan ibumu yang juga cinta kepada engkau, menolong ayah dan ibumu dalam mendidikmu, mereka gembira bilamana engkau gembira dan membelamu bilamana perlu.[1] Pamanmu, bibimu dan anak-anaknya mereka sayang kepadamu dan ingin agar engkau selamat dan berbahagia, karena mereka mencintai ayah dan ibumu dan menolong keduanya disetiap keperluan.[1]

Akhlak bermasyarakat

Tetanggamu ikut bersyukur jika orang tuamu bergembira dan ikut susah jika orang tuamu susah, mereka menolong, dan bersam-sama mencari kemanfaatan dan menolak kemudhorotan, orang tuamu cinta dan hormat pada mereka maka wajib atasmu mengikuti ayah dan ibumu, yaitu cinta dan hormat pada tetangga.[1]

Pendidikan kesusilaan/akhlak tidak dapat terlepas dari pendidikan sosial kemasyarakatan, kesusilaan/moral timbul di dalam masyarakat. Kesusilaan/moral selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Sejak dahulu manusia tidak dapat hidup sendiri–sendiri dan terpisah satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok, bantu-membantu, saling membutuhkan dan saling mepengaruhi, ini merupakan apa yang disebut masyarakat. Kehidupan dan perkembangan masyarakat dapat lancar dan tertib jika tiap-tiap individu sebagai anggota masyarakat bertindak menuruti aturan-aturan yang sesuai dengan norma- norma kesusilaan yang berlaku.[1]

Akhlak bernegara

Mereka yang sebangsa denganmu adalah warga masyarakat yang berbahasa yang sama denganmu, tidak segan berkorban untuk kemuliaan tanah airmu, engkau hidup bersama mereka dengan nasib dan penanggungan yang sama. Dan ketahuilah bahwa engkau adalah salah seorang dari mereka dan engkau timbul tenggelam bersama mereka.[1]

Akhlak beragama

Akhlak ini merupakan akhlak atau kewajiban manusia terhadap tuhannya, karena itulah ruang lingkup akhlak sangat luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Tuhan, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk Tuhan.[1]

 

 

 

Referensi

1.      Ahmad A.K. Muda. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Reality Publisher. Hal 45-50

2.      Mubarak, Zakky, dkk. 2008. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi, Buku Ajar II, Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat. Depok: Lembaga Penerbit FE UI.Hlm. 20-39

3.      Rahmat Djanika, 1992:27

4.      Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 76

5.      Ensiklopedia Brittanica

6.      Robert C. Solomon. 1985. Introducing Philosophy: A Text with Reading, (third edition), New York: Hacourt Brace Jovanovich, Hlm. 65

7.      C.A, Van Peursen. 1980. Susunan Ilmu Pengetahuan J. Drost, Jakarta:Gramedia, Hlm. 109.

8.      Charles F. Andrain. Kehidupan Politik dan perubahan Sosial, (Terjemahan Luqman Hakim), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.Hlm 69

9.      Anton Bakker. 1984. Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia.Hlm. 48

10.  Irving Copi. 1976. Introduction to Logic, New York: The Miridian Library.Hlm. 27

 


 
Akibat Bericara Dan Beramal Tanpa Ilmu



Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Dan janganlah engkau ikuti apa yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang-nya, sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati semuanya itu akan di tanya" (QS Al-Isra': 36).

Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Barang siapa berbicara tentang al Qur'an dengan akal nya atau tidak dengan ilmu, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka" (Hadist seperti ini ada dari 2 jalan, yaitu Ibnu Abas dan Jundub. Lihat Tafsir Qur'an yang diberi mukaddimah oleh Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth hal. 6, Tafsir Ibnu Katsir dalam Mukaddimah hal. 13, Jami' As-Shahih Sunan Tirmidzi jilid 5 hal.183 no. 2950 dan Tuhfatul Ahwadzi jilid 8 hal. 277).

"Barang siapa mengamalkan sesuatu amal yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalnya itu tertolak." (Shahih Muslim, Syarah Arba'in An-Nawawi hal. 21 Pembatalan Kemung-karan dan Bid'ah).

Dari salamah bin Akwa berkata , Aku telah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang mengatakan atas (nama)ku apa-apa yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di Neraka." (HR Al-Bukhari I/35 dan lainya).

"Cukup bohong seseorang manakala dia membicarakan setiap apa yang dia dengar." (HR. Muslim dalam muqaddimah shahihnya).

Nasihat Salafus Shalih

* Abu Darda berkata: "Kamu tidak akan menjadi orang yang bertaqwa sehingga kamu berilmu, dan kamu tidak menjadi orang yang berilmu secara baik sehingga kamu mau beramal." (Adab dalam majelis-Muhammad Abdullah Al-Khatib).

Beliau juga berkata : "Orang-orang yang menganggap pergi dan pulang menuntut ilmu bukan termasuk jihad, berarti akal dan pikiranya telah berkurang."

* Imam Hasan Al Basri mengatakan: Tafsir Surat-Baqarah ayat 201; Ya Tuhan, berikanlah kami kebaikan di dunia(ilmu dan ibadah) dan kebaikan di akhirat (Surga).

* Imam Syafi'i berkata: "Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hen-daklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan duanya maka hendaklah dengan ilmu." (Al-Majmu', Imam An-Nawawi).

* Imam Malik berkata: "Ilmu itu tidak diambil dari empat golongan, tetapi diambil dari selainya. Tidak diambil dari orang bodoh, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, yang mengajak berbuat bid'ah dan pendusta sekalipun tidak sampai tertuduh mendustakan hadist-hadist Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, juga tidak diambil dari orang yang dihormati, orang saleh, dan ahli ibadah yang mereka itu tidak memahami permasalahanya. Imam Muhammad Ibnu Sirin berkata: Sesungguhnya ilmu itu dien, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil dienmu.

Para ulama salaf memahami betul bahwa sebab-sebab terjadinya penyimpangan dikalangan orang-orang yang sesat pada asalnya karena kekeliruan tashawur (pandangan /wawasan) mereka tentang batasan ilmu (Lihat Al-Ilmu Ushulu wa Mashadiruhu wa Manahijuhu Muhammad bin Abdullah Al-Khur'an, cet. I 1412 H, Dar Al-Wathan lin Nasyr, Riyadh, hal. 7).

Orang-Orang salaf berkata :
"Waspadalah terhadap cobaan orang berilmu yang buruk (ibadahnya) dan ahli ibadah yang bodoh." (Al-wala'wal bara' hal. 230)

* Imam Asy-Syafi'i memberi nasihat kepada murid-muridnya:
Siapa yang mengambil fiqih dari kitab saja, maka ia menghilangkan banyak hukum. (Tadzkiratus sami' wal mutakallim, Al-Kannani, hal.87, Efisiensi Waktu Konsep Islam. Jasmin M. Badr Al-Muthawi, hal 44).

* Abdullah bin Al-Mu'tamir berkata: "Jika engkau ingin mengerti kesalahan gurumu, maka duduklah engkau untuk belajar kepada orang lain." (riwayat Ad-Darimi dalam Sunannya I/153)

* Riwayat Ibnu Wahab yang diterima dari Sofyan mengatakan: "Tidak akan tegak ilmu itu kecuali dengan perbuatan, juga ilmu dan perbuatan tidak akan ada artinya kecuali dengan niat yang baik. Juga ilmu, perbuatan dan niat yang baik tidak akan ada artinya kecuali bila sesuai dengan sunnah-sunnah." (Syeikh Abu Ishaq As -Syatibi, Menuju jalan Lurus).

* Ibrahim Al-Hamadhi berkta: Tidaklah dikatakan seorang itu berilmu, sekalipun orang itu banyak ilmunya. Adapun yang dikatakan Allah ortang itu berilmu adalah orang-orang yang mengikuti ilmu dan mengamalkanya, dan menetap dalam perkara As-Sunah, sekalipun jumlah ilmu-ilmu dari orang-orang tersebut hanya sedikit (Syeikh Abu Ishaq As -Syatibi, Menuju jalan Lurus).

Keutamaan pencari ilmu dan yang mengatakan seseorang itu ahli ilmu

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang mencari satu jalan menuntut ilmu niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Allah SWT berfirman: "Tidak sepatutunya bagi orang-orang mukmin itu pergi semaunya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memeperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali." (At-Taubah: 122)

Imam Muslim mengatakan kepada Imam Bukhari: "Demi Allah tidak ada di dunia ini yang lebih pandai tentang ilmu hadist dari engkau." (Tarikh Bukhari, dalam Mukadimah Fathul Bari)

Imam Syafi'i berkomentar tentang Imam Ahmad: "Saya pergi dari kota Baghdad dan tidak saya tinggalkan di sana orang yang paling alim dalam bidang fiqih, yang paling wara' dalam agamanya dan paling berilmu selain Imam Ahmad." (Thobaqatus Syafi'I, As-Subki / Efisiensi Waktu Konsep Islam, Jasim m. Badr Al-Muthawi, hal.91)

Orang yang menuntut ilmu bukan kepada ahlinya [b/]

Dari Abdullah bin Ash ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu di kalangan umat manu-sia setelah dianugerahkan kepada mereka, tetapi Allah mencabut ilmu tersebut di kalangan umat manusia dengan dimatikannya para ulama, sehingga ketika tidak tersisa orang alimpun, maka manusia menjadikan orang-orang bodoh menjadi pimpinan. Mereka dimintai fatwanya, lau orang-orang bodoh tersebut berfatwa tanpa ilmu." Dalam riwayat lain: "dengan ra'yu/akal. Maka sungguh perbuatan tersebut adalah sesat dan menyesatkan." (HR. Al-Bukhari I/34).

"Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saatnya (kebinasaannya)." (Shahih Bukhari bab Ilmu).
"Sesungguhnya termasuk tanda-tanda kiamat adalah dicarinya ilmu dari orang rendahan." (lihatkitab Silsilah Hadist Shahih no. 695).

"Ya Allah aku mohon perlindung-anMu agar aku dijauhkan dari lmu yang tidak berguna (ilmu yang tidak aku amalkan, tidak aku ajarkan dan tidak pula merubah akhlakku), dan dari hati yang tidak khusyu', dari nafsu yang tidak pernah puas dan doa yang tidak terkabulkan." ( HR. Ahmad, Ibnu Hiban dan Al-Hakim)

"Ya Allah berikanlah kepadaku manfaat dari ilmu yang Engkau anugerahklan kepadaku , dan berilah aku ilmu yang bermanfaat bagiku dan tambahkanlah kepadaku ilmu" (Jami' Ash-Shahih, Imam Tirmidzi no. 3599 Juz V hal. 54)

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang bermanfaat dan amal yang diterima" (Hisnul Muslim, hal. 44 no. 73).

"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedangkan kamu mengetahuinya." (Al-Baqarah: 42).

"Wahai orang-orang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (Al-Baqarah: 208).


 
Sebab-sebab Kemerosotan Akhlak

Published by Abdullah Hadrami [abdullah] on 2009/1/21 (2970 reads)

(Sumber: Bina'ul Akhlaq, Abdullah bin Salim al-Qurasyi hal 92-101, secara ringkas./alsofwah/kholif)

Akhlak, memiliki sebab-sebab yang dapat menjadikannya tinggi dan mulia, dan sebaliknya juga mempunyai sebab-sebab yang dapat menjadikannya merosot dan jatuh ke dalam keterpurukan. Di antara sebab-sebab yang menjadikan merosotnya akhlak adalah sebagai berikut:

1. Lemah Iman

Lemahnya iman merupakan pertanda dari kerendahan dan rusaknya moral, ini disebabkan karena iman merupakan kekuatan (untuk membina akhlak) dalam kehidupan seseorang.

2. Lingkungan

Lingkungan memberikan dampak yang sangat kuat bagi perilaku seseorang, karena -seperti dikatakan pepatah- bahwa seseorang adalah anak lingkungannya. Kalau dia hidup dan terdidik dalam lingkungan yang tidak mengenal makna adab dan akhlak serta tidak tahu tujuan hidup yang mulia, maka akhlaknya akan rusak sebagai mana hasil didikan lingkungannya.

3. Kondisi tak Terduga

Terkadang seseorang secara tak terduga mendapati kondisi yang menjadi sebab bagi berubahnya perilaku dan kehidupannya. Yang tadinya baik tiba-tiba berubah menjadi buruk, jahat, tak bermoral dan sebagainya. Di antara kondisi tak terduga tesebut adalah:

-Terkucil
Keterkucilan terkadang menyebab kan seseorang berperilaku buruk, dadanya menjadi sempit dikarenakan rasa kecewa yang mendalam atau kurangnya kesabaran.

-Kaya
Seseorang yang baik dapat berubah akhlaknya menjadi buruk dengan sebab kekayaan, yaitu menjadi sombong dan buruk perilakunya.

-Fakir
Kefakiran, sebagaimana juga kekayaan dapat menjadi pemicu bagi perubahan perilaku seseorang dari baik menjadi buruk. Mungkin karena merasa kedudukannya menjadi rendah, atau karena kecewa atas hilangnya kekayaan yang selama ini dimilikinya.

-Kesedihan
Kesedihan yang dibiarkan berlurut-larut dalam hati akan menyebabkan hati terobsesi dengannya sehingga menyebabkan seseorang tidak tahan dan tidak sabar menanggungnya. Akibatnya dia lari kepada hal-hal yang buruk sebagai pelampiasan, sehingga dikatakan bahwa kesedihan itu seperti racun.

-Sakit
Yaitu sakit yang menyebabkan perubahan tabi'at, sebagaimana juga perubahan pada anggota badannya. Maka akhirnya tidak lagi mampu untuk bersikap lurus proposional (i'tidal) dan tidak kuasa menahan berbagai penderitaan.

-Usia Lanjut
Usia lanjut sangat berpengaruh terhadap berubahnya kondisi fisik atau anggota badan. Demikian juga terkadang berpengaruh terhadap akhlak seseorang, karena menurunnya kemampuan, kecantikan dan kondisi diri sehingga dia merasa lemah untuk bersikap sabar dalam menerima kenyataan.

4. Ujub

Dari sikap ujub ini muncul berbagi akhlak tercela seperti sombong/ merendahkan orang/takabbur/besar kepala dan semisalnya.

Abu Wahb al-Marwazi berkata, "Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak, Apakah kibr (sombong) itu?? Dia menjawab, "Jika engkau merendahkan orang lain." Lalu aku bertanya tentang ujub, maka beliau menjawab, jika engkau memandang bahwa dirimu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, aku tidak tahu sesuatu yang lebih buruk bagi orang yang shalat daripada ujub." (Siyar A'lam an-Nubala' 8/407).

Iman Ibnul Qayyim berkata, "Biang akhlak yang tercela adalah bermula dari kesombongan dan rendah diri. Dari kesombongan muncul sikap bangga, sok tinggi, hebat, ujub, hasad, keras kepala, zhalim, gila pangkat, kedudukan dan jabatan, senang dipuji padahal tidak berbuat sesuatu apa pun dan lain sebagainya.

Sedangkan sikap rendah diri dan kekerdilan jiwa melahirkan dusta, khianah, riya', makar, penipuan, tamak, inkonsisten, pengecut, kikir, lemah, malas, hina bukan karena Allah Ta'aala memilih yang rendah daripada yang baik dan semisalnya. (Periksa al-Fawaid, 143-144)

5. Tidak Mengingkari Orang yang Berakhlak Buruk

Membiarkan orang lain berbuat keburukan, memberikan toleransi dan tidak peduli terhadap mereka adalah bukan sebuah sikap yang baik. Bahkan itu merupakan kelemahan serta memberikan peluang kepada mereka untuk terus melakukan perbuatan buruk, bahkan merupakan sebuah andil dalam perbuatan buruk mereka.

6. Rumah Tangga

Jika sebuah rumah tangga penghuninya membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak akan ikut terbiasa juga dengan akhlak tersebut. Sebaliknya jika sebuah rumah tangga tidak pernah mengenalkan dan membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak juga akan tidak tahu adab dan ketinggian moral.

7. Lupa Aib Diri Sendiri

Tatkala seseorang melupakan aib diri sendiri, maka dia tidak akan mengoreksi dan introspeksi diri. Dan hal ini merupakan salah satu sebab merosotnya ketinggian akhlak seseorang. Karena lupa akan kekurangan diri sendiri adalah sebuah kekurangan.

8. Kekerdilan Jiwa (Rendah Diri)

Ketika jiwa seseorang kerdil maka dia tidak mampu untuk memenuhi berbagai macam hak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya karena merasa berat dengan itu semua. Oleh karena itu dia mencari-cari alasan yang tidak benar atas kesalahannya dengan berbagai cara seperti berdusta, berkhianat atau bersikap munafik. Tak jarang juga melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang sebenarnya tidak bersalah.

9. Teman yang Buruk

Ketika seseorang berteman dengan orang yang buruk perangai maka dia biasanya akan terpengaruh dengan temannya tersebut, dan ini merupakan sebab akhlak seseorang menjadi rendah. Berteman dengan orang buruk juga terkadang menjadikan tumbuhnya su'udzan (buruk sangka) terhadap orang baik-baik.

10. Peristiwa Kehidupan

Salah satu sebab yang menjadikan akhlak seseorang rendah adalah terjadinya suatu peristiwa yang menyenangkan atau menyedihkan dalam kehidupan seseorang. Jika seseorang memiliki iman yang kuat, maka dia akan menyikapi setiap peristiwa dengan benar. Dia akan bersyukur ketika mendapatkan kebaikan dan akan bersabar ketika ditimpa sesuatu yang menyedihkan. Sedangkan jika imannya lemah, maka dia akan sombong dan takabbur ketika meraih kenikmatan atau akan putus asa ketika tertimpa bencana.

11. Maksiat

Di antara akhlak rendah yang diakibatkan oleh kemaksiatan adalah berupa hilangnya cemburu dan rasa malu, lalu disusul dengan berbagai perbuatan keji dan buruk lainnya. Di dalam kitab ad-Daa' wad-Dawaa' hal 71-72 disebutkan, "Seseorang apabila semakin asyik dengan dosa, maka akan berkurang dari qalbunya rasa cemburu terhadap diri, keluarganya dan orang lain pada umumnya. Dan terkadang jika qalbu benar-benar lemah, maka keburukan tidak lagi dianggap sebagai keburukan. Jika telah sampai pada tingkat ini, maka berarti dia telah masuk pada pintu kebinasaan, bahkan amat banyak yang bukan hanya sekedar tidak menganggap buruk perbuatan buruk, namun lebih dari itu yaitu menganggap keburukan sebagai kebaikan.

12. Tabi'at (Watak Asli)

Ada sebagian orang yang memang memiliki tabi'at/watak asli yang buruk, rendah, suka iri dan dengki terhadap orang lain. Dan tabi'at ini lebih mendominasi pada diri orang tersebut, sehingga terkadang pendidikan yang diperolehnya sama sekali tidak mempengaruhi perilakunya.

13. Media Massa

Salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan adalah munculnya berbagai media massa dan stasiun-stasiun televisi yang beraneka macam dengan menyiarkan acara yang merusak dan cenderung mengajak kepada kerendahan moral. Tidak sedikit masyarakat yang gandrung dan kecanduan dengan seorang artis atau acara tertentu, sehingga dengan tanpa ilmu ikut-ikutan terhadap perilaku mereka yang rendah. Wal'iyadzu billah.



 
IMAN KEPADA NABI & RASUL ALLAH

Seorang Muslim beriman dan percaya bahwa Allah SWT  telah memilih di antara ummat manusia sejumlah nabi dan rasul sebagai utusan-Nya kepada ummat manusia untuk menyampaikan syari’at agama Allah, untuk menyelamatkan manusia dari perselisihan dan untuk mengajak manusia kepada kebenaran.

                Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk membawa kabar gembira kepada ummat manusia tentang kenikmatan abadi yang disediakan bagi mereka yang beriman, dan memperingatkan mereka tentang akibat kekufuran (syirik). Merekapun memberi teladan untuk bertingkah laku yang baik dan mulia bagi manusia, antara lain dalam bentuk ibadah yang benar, akhlaq yang terpuji dan istiqomah (berpegang teguh) terhadap ajaran Allah SWT.

         

Pengertian Nabi dan Rasul

Walaupun tugas nabi dan rasul adalah sama dari segi tugas penyampaian wahyu, tetapi kedua istilah ini mempunyai pengertian yang berbeda. Sebagian kaum Muslimin berpendapat bahwa nabi atau rasul adalah orang yang menerima wahyu dari Allah untuk dilaksanakan terutama untuk dirinya sendiri; lalu jika ia diperintahkan Allah untuk menyampaikan wahyu itu kepada manusia, maka ia disebut rasul . Tetapi jika tidak demikian, maka ia disebut nabi.

                Pendapat ini terasa ganjil terdengar. Sebab, mungkinkah seorang nabi tidak diberikan tugas untuk menyampaikan wahyu kepada ummat  manusia? Apakah nabi hanya diutus Allah untuk melaksanakan agama Allah untuk dirinya sendiri?. Benar, bahwa nabi dan rasul, keduanya menerima wahyu dari Allah. Tetapi ada perbedaan makna yang sangat berarti dan prinsipil diantara keduanya.

            Arti Nabi adalah orang yang diwahyukan kepadanya syari’at rasul sebelumnya dan diperintahkan untuk menyampaikan syari’at itu kepada suatu kaum tertentu. Contoh untuk itu adalah nabi-nabi Bani Israil yang diutus seperti nabi-nabi Musa dan Isa. Sedangkan rasul adalah orang yang diwahyukan kepadanya suatu syari’at baru untuk disampaikan kepada kaumnya sendiri atau suatu kaum. Secara singkat dapatlah disebut bahwa rasul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syaria’tnya sendiri, sedangkan nabi diperintahkan untuk menyampaikan syari’at rasul yang lain (rasul sebelumnya).

Allah SWT berfirman : “(Dan) Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak pula seorang nabi...”(QS Al Hajj : 52). Muhammad SAW adalah nabi dan rasul. Namun yang paling istimewa pada diri beliau adalah kenabian dan kerasulannya diutus untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk satu kaum tertentu.

                Seorang muslim wajib menyakini semua nabi dan rasul sebagaimana firman Allah SWT: “Katakanlah (kepada orang-orang mukmin) : ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang diturunkan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya, Kami tidak membeda-bedakan seroang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.  (QS. Al-Baqarah : 136)

 
KESESATAN

Kesesatan adalah berpaling dari jalan yang lurus. Ia menjadi lawan dari petunjuk. Kesesatan dapat dinisbatkan pada beberapa makna seperti, kekufuran, kemusyrikan, menyalahi kebenaran, kesalahan, atau lupa. “Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya ia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya ia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri.” (QS. Al-Isra’: 15)
 

“KEKAFIRAN DALAM ISLAM”

Kafir atau kuffar, dalam bahasa Arab secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Lawan katanya adalah syakir, yaitu orang yang bersyukur. Kata kafir dipakai oleh Islam sebagai rujukan bagi orang-orang yang menutup diri, menolak serta mengingkari segala nikmat dari Allah SWT.

Jadi, menurut syariat Islam, manusia kafir itu bermakna:

1. Orang yang tidak beragama Islam atau orang yang tidak mau membaca syahadat.

2. Orang Islam yang tidak mau menjalankan ajaran agamanya sendiri seperti shalat, puasa, atau membayar zakat.

Dalam Al-Qur’an, kata kafir terbagi menjadi beberapa point, yaitu:

  • Kufur at-tauhid (menolak tauhid), ditujukan kepada mereka yang menolak bahwa Tuhan itu satu.
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (QS Al Baqarah, 2:6)

  • Kufur al-ni’mah (mengingkari nikmat), ditujukan kepada mereka yang tidak mau bersyukur kepada Tuhan.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun).” (QS Al Baqarah, 2:152)

  • Kufur at-tabarri (melepaskan diri).
  • Kufur al-juhud (mengingkari sesuatu).
“…maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar (kafaru) kepadanya.” (QS Al Baqarah, 2:89)

  • Kufur at-taghtiyah (menanam/mengubur sesuatu).
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar).” (QS Al Hadid, 57:20)

Kekafiran atau kufur dalam bahasa Arab asalnya berarti penutup. Adapun dalam istilah syariat berarti lawan dari iman.

Kufur bisa terjadi karena beberapa sebab antara lain:

1. Mendustakan atau tidak mempercayai.

2. Ragu terhadap sesuatu yang jelas dalam syari’at.

3. Berpaling dari agama Allah.

4. Kemunafikan yakni menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keislaman.

5. Sombong terhadap perintah Allah `Azza wa Jalla seperti yang dilakukan iblis.

6. Tidak mau mengikrarkan kebenaran agama Allah bahkan terkadang dibarengi dengan memeranginya, padahal hatinya yakin kalau itu benar, seperti yang terjadi pada Fir’aun.

Keenam hal ini termasuk dalam kufur akbar (kufur besar) yang menjadikan pelakunya keluar dari Islam atau murtad. Terkadang kufur besar terjadi dengan ucapan atau perbuatan yang sangat bertolak belakang dengan iman seperti mencela Allah dan Rasul-Nya atau menginjak al Qur’an dalam keadaan tahu kalau itu adalah Al Qur’an dan tidak terpaksa.

Di samping yang tersebut di atas, ada pula kufur ashghar (kufur kecil), yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama atau tidak menjadikan murtad. Kufur ashghar yaitu perbuatan-perbuatan dosa yang disebut dengan istilah kekafiran dalam Al Qur’an maupun As Sunnah tapi belum mencapai derajat kufur besar.

secara umum kufr dari segi bentuknya bisa terbagi menjadi beberapa kategori, antara lain:

Kufr al-Inkar

“Kufr al-inkar” adalah kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur alam ini, megingkari para rasul-Nya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa.

Kufr al-Juhud

“Kufr al-juhud” tidak berbeda jauh dengan kufr al-inkar. Kufr al-juhud adalah mengakui dengan hati (kebenaran yang dibawa oleh Rasululah) tetapi mengingkarinya dengan lidah rasa sombong dan superioritas.

Kufr  an-Nifaq

“Kufr an-nifaq” dapat dianggap sebagai kebalikan dari  kufr al-juhud. Kalau kufr al-juhud berarti mengatahui dan menyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah, maka kufr al-nifaq mengandung arti pengakuan dengan lidah, tetapi pengingkaran dengan hati. 

Kufr asy-Syirk

Syirik berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu selain diri-Nya sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan. Syirik digolongkan  sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari keesaan Tuhan, yang berarti mengingkari kemahakuasaan dan kemahasempurnaan-Nya.

Kufr an-Ni'mat

Kufr an-ni'mat adalah menyalahgunakan nikmat yang diperoleh, menempatkan bukan pada tempatnya, atau memanfaatkan bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan diridhai oleh pemberi nikmat.

Kufr  al-Irtidad

Istilah “irtidad” atau “riddat” berakar dari kata “radd”. Menurut ar-Raghib, term riddat khusus digunakan bagi orang-orang yang  kembali kepada kekafiran sesudah beriman. Fenomena riddat yang terlihat cukup menonjol  dalam masyarakat, khususnya masyarakat modern, adalah yang berlatar belakang perkawinan campuran antar agama.

Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan oleh al-al-Qur'an adalah kufr (kekafiran). Kufr, pada dasarnya, merupakan antitesis dari iman, sedangkan iman adalah bagian dari ajaran atau aspek Islam yang paling pokok dan fundamental. Bila sistem iman rusak, maka runtuhlah bangunan agama secara keseluruhan. Di sinilah urgensi pembahasan tentang kufr. Dari segi bahasa,  kufr mengandung arti “menutupi”. Malam disebut kafir karena ia menutupi siang atau menutupi benda-benda dengan kegelapannya. Awan juga disebut kafir karena ia menutupi matahari. Demikian pula para petani terkadang disebut kafir karena ia menutupi benih dengan tanah. Secara istilah (terminologi), para ulama berbeda-beda dalam menetapkan batasan kufr.

Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengartikan kufr sebagai "pendustaan kepada Rasulullah Saw. dan  ajarannya”, sedangkan kaum Khawarij  mengartikan kufr bagi orang yang meninggalkan  ajaran dan hukum-hukum Allah. Namun, secara umum kufr dari segi bentuknya bisa terbagi menjadi beberapa kategori, antara lain:

Kufr al-Inkar

“Kufr al-inkar” adalah kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur alam ini, megingkari para rasul-Nya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa. Karena mengingkari pokok-pokok agama ini, maka mereka dikategorikan sebagai penganut ateisme, materialisme, dan naturalisme yang hanya mempercayai hal-hal yang bersifat material dan alamiah.  Menurut mereka, kehidupan ini hanya berlangsung secara alamiah, murni tanpa kendali dari luar. Hal ini diungkapkan al-Qur'an dalam surat al-Jatsiyah ayat 24: وَقَالُوامَاهِيَإِلَّاحَيَاتُنَاالدُّنْيَانَمُوتُوَنَحْيَاوَمَايُهْلِكُنَاإِلَّاالدَّهْرُوَمَالَهُمْبِذَلِكَمِنْعِلْمٍإِنْهُمْإِلَّايَظُنُّونَ

"Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati, hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." Ciri yang menonjol pada diri orang-orang kafir jenis ini adalah orientasi kehidupan mereka yang terfokus pada dunia dan kenikmatannya saja. Maka, timbullah pribadi-pribadi yang materialis dan hedonis, yakni menghargai sesuatu yang mendatangkan kenikmatan duniawi dan jasmani saja. Bagi mereka, kehidupan akhirat sama sekali tidak ada.

Kufr al-Juhud

“Kufr al-juhud” tidak berbeda jauh dengan kufr al-inkar. Kufr al-juhud adalah mengakui dengan hati (kebenaran yang dibawa oleh Rasululah) tetapi mengingkarinya dengan lidah.  Menurut Thabataba'i,  kufr al-juhud berarti pengingkaran terhadap ajara-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. Fir'aun dan kelompoknya adalah contoh  orang kafir jenis ini, sebagaimana diterangkan dalam QS. an-Naml ayat 13-14:

فَلَمَّا جَاءَتْهُمْءَايَاتُنَامُبْصِرَةًقَالُواهَذَاسِحْرٌمُبِينٌ(13)وَجَحَدُوابِهَاوَاسْتَيْقَنَتْهَاأَنْفُسُهُمْظُلْمًاوَعُلُوًّافَانْظُرْكَيْفَكَانَعَاقِبَةُالْمُفْسِدِينَ

“Maka tatkala mu`jizat-mu`jizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". Dan, mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. Maka, perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” Iblis adalah contoh lain dari kafir juhud ini. Ia sebenarnya tahu dan yakin akan kebenaran Tuhan dan hari kebangkitan, tetapi ia dikuasai oleh rasa dengki, sombong, dan angkuh, maka ia pun membangkang kepada Tuhan. Maka, ciri dari kufr jenis ini adalah rasa sombong dan superioritas.

Kufr  an-Nifaq

“Kufr an-nifaq” dapat dianggap sebagai kebalikan dari  kufr al-juhud. Kalau kufr al-juhud berarti mengatahui dan menyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah, maka kufr al-nifaq mengandung arti pengakuan dengan lidah, tetapi pengingkaran dengan hati.  Hal ini didasarkan pada firman Allah surat al-Ma'idah ayat 41 :

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا ءَامَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ

"Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman.” Kemunafikan dimasukkan dalam kategori kufr, karena pada hakikatnya perilaku tersebut adalah kekafiran yang terselubung. Orang-orang munafiq pada dasarnya ingkar kepada Allah, Rasul, dan ajaran-ajarannya, kendatipun secara lahir mereka memakai baju mukmin. Karena itu, dalam banyak ayat orang-orang munafik diidentifikasi sebagai orang kafir. Di antara ciri-ciri orang munafik dalam al-Qur'an adalah berkepribadian goyah,  selalu bimbang, gelisah, dan sikap bermuka dua. Ia sangat sulit untuk bersatu dan menjalin persahabatan sejati, karena selalu berbuat khianat.

Kufr asy-Syirk

Syirik berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu selain diri-Nya sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan. Syirik digolongkan  sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari keesaan Tuhan, yang berarti mengingkari kemahakuasaan dan kemahasempurnaan-Nya. Dalam al-Qur'an, orang-orang musyrik terkadang ditunjuk dengan term kafir. Para ulama membagi jenis syirik menjadi syirik besar (syirk jaliy) yaitu mempersekutukan Allah seperti disebut di atas  dan syirik kecil (syirk khafiy) yaitu melakukan suatu perbuatan bukan atas dasar keikhlasan untuk mencari ridha Allah, khususnya yang berkaitan dengan amalan-amalan keagamaan, melainkan karena tujuan-tujuan lain yang bersifat keduniaan. Namun, yang banyak disoroti al-Qur'an adalah syirik dalam bentuk pertama (syirik jaliy), khususnya dalam bentuk keberhalaan (paganisme).  Syirk adalah perbuatan yang tidak diampuni oleh Allah swt., karena agama diturunkan untk menyucikan jiwa, sedangkan syirik berarti mengotori jiwa dan merendahkan akal manusia. Dari jiwa yang kotor dan akal yang rendah, akan timbul bermacam-macam kejahatan dan perilaku tak bermoral lainnya.

Kufr an-Ni'mat

Kufr an-ni'mat adalah menyalahgunakan nikmat yang diperoleh, menempatkan bukan pada tempatnya, atau memanfaatkan bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan diridhai oleh pemberi nikmat. Kecenderungan manusia mengkafiri nikmat-nikmat Tuhan tampaknya amat kuat. Ini dapat dilihat pada QS. Yunus ayat 23, di mana digambarkan bahwa ketika manusia sedang berlayar di tengah lautan lalu datang amukan badai, mereka segera berdoa kepada Tuhan: "Jika Engkau menyelamatkan kami, pastilah kami akan menjadi orang yang bersyukur". Akan tetapi, begitu Tuhan menyelamatkan mereka, mereka pun segera melupakan janji yang pernah diucapkan. Mereka kembali kafir terhadap nikmat-Nya serta berbuat zalim dan melakukan kerusakan di muka bumi.  Watak manusia seperti ini secara lebih tegas dipaparkan dalam ayat 12 surat Yunus:

وَإِذَامَسَّالْإِنْسَانَالضُّرُّدَعَانَالِجَنْبِهِأَوْقَاعِدًاأَوْقَائِمًافَلَمَّاكَشَفْنَاعَنْهُضُرَّهُمَرَّكَأَنْلَمْيَدْعُنَاإِلَىضُرٍّمَسَّهُكَذَلِكَزُيِّنَلِلْمُسْرِفِينَمَاكَانُوايَعْمَلُونَ

"Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui jalannya yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo`a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan". Untuk meredam kecenderungan kuat tersebut, Tuhan berulangkali menegaskan wajibnya manusia mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dan larangan untuk mengkafiri nikmat tersebut.

Kufr  al-Irtidad

Istilah “irtidad” atau “riddat” berakar dari kata “radd”. Menurut ar-Raghib, term riddat khusus digunakan bagi orang-orang yang  kembali kepada kekafiran sesudah beriman. Fenomena riddat yang terlihat cukup menonjol  dalam masyarakat, khususnya masyarakat modern, adalah yang berlatar belakang perkawinan campuran antar agama. Seorang muslim atau muslimat, karena kawin dengan orang non-Islam, akhirnya melepas agamanya dan menukarnya dengan agama pasangannya. Ini terjadi karena persitiwa pertukaran agama tersebut dianggap wajar saja dan tidak prinsipil.  Di samping itu, penyebab lainnya adalah kurangnya pembinaan kerohanian/keagamaan pada kebanyakan  masyarakat modern, yang keislamannya kebanyakan terbentuk oleh lingkungannya. Sifat kafir seperti ini sangat berbahaya karena dapat menggoyahkan barisan dan kekuatan kaum muslimin. Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan oleh al-al-Qur'an adalah kufr (kekafiran). Kufr, pada dasarnya, merupakan antitesis dari iman, sedangkan iman adalah bagian dari ajaran atau aspek Islam yang paling pokok dan fundamental. Bila sistem iman rusak, maka runtuhlah bangunan agama secara keseluruhan. Di sinilah urgensi pembahasan tentang kufr. Dari segi bahasa,  kufr mengandung arti “menutupi”. Malam disebut kafir karena ia menutupi siang atau menutupi benda-benda dengan kegelapannya. Awan juga disebut kafir karena ia menutupi matahari. Demikian pula para petani terkadang disebut kafir karena ia menutupi benih dengan tanah. Secara istilah (terminologi), para ulama berbeda-beda dalam menetapkan batasan kufr. Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengartikan kufr sebagai "pendustaan kepada Rasulullah Saw. dan  ajarannya”, sedangkan kaum Khawarij  mengartikan kufr bagi orang yang meninggalkan  ajaran dan hukum-hukum Allah. Namun, secara umum kufr dari segi bentuknya bisa terbagi menjadi beberapa kategori, antara lain:

Kufr al-Inkar

“Kufr al-inkar” adalah kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur alam ini, megingkari para rasul-Nya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa. Karena mengingkari pokok-pokok agama ini, maka mereka dikategorikan sebagai penganut ateisme, materialisme, dan naturalisme yang hanya mempercayai hal-hal yang bersifat material dan alamiah.  Menurut mereka, kehidupan ini hanya berlangsung secara alamiah, murni tanpa kendali dari luar. Hal ini diungkapkan al-Qur'an dalam surat al-Jatsiyah ayat 24: وَقَالُوامَاهِيَإِلَّاحَيَاتُنَاالدُّنْيَانَمُوتُوَنَحْيَاوَمَايُهْلِكُنَاإِلَّاالدَّهْرُوَمَالَهُمْبِذَلِكَمِنْعِلْمٍإِنْهُمْإِلَّايَظُنُّونَ

"Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati, hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." Ciri yang menonjol pada diri orang-orang kafir jenis ini adalah orientasi kehidupan mereka yang terfokus pada dunia dan kenikmatannya saja. Maka, timbullah pribadi-pribadi yang materialis dan hedonis, yakni menghargai sesuatu yang mendatangkan kenikmatan duniawi dan jasmani saja. Bagi mereka, kehidupan akhirat sama sekali tidak ada.

Kufr al-Juhud

“Kufr al-juhud” tidak berbeda jauh dengan kufr al-inkar. Kufr al-juhud adalah mengakui dengan hati (kebenaran yang dibawa oleh Rasululah) tetapi mengingkarinya dengan lidah.  Menurut Thabataba'i,  kufr al-juhud berarti pengingkaran terhadap ajara-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. Fir'aun dan kelompoknya adalah contoh  orang kafir jenis ini, sebagaimana diterangkan dalam QS. an-Naml ayat 13-14: فَلَمَّا جَاءَتْهُمْءَايَاتُنَامُبْصِرَةًقَالُواهَذَاسِحْرٌمُبِينٌ(13)وَجَحَدُوابِهَاوَاسْتَيْقَنَتْهَاأَنْفُسُهُمْظُلْمًاوَعُلُوًّافَانْظُرْكَيْفَكَانَعَاقِبَةُالْمُفْسِدِينَ

“Maka tatkala mu`jizat-mu`jizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". Dan, mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. Maka, perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” Iblis adalah contoh lain dari kafir juhud ini. Ia sebenarnya tahu dan yakin akan kebenaran Tuhan dan hari kebangkitan, tetapi ia dikuasai oleh rasa dengki, sombong, dan angkuh, maka ia pun membangkang kepada Tuhan. Maka, ciri dari kufr jenis ini adalah rasa sombong dan superioritas.

Kufr  an-Nifaq

“Kufr an-nifaq” dapat dianggap sebagai kebalikan dari  kufr al-juhud. Kalau kufr al-juhud berarti mengatahui dan menyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah, maka kufr al-nifaq mengandung arti pengakuan dengan lidah, tetapi pengingkaran dengan hati.  Hal ini didasarkan pada firman Allah surat al-Ma'idah ayat 41 : يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا ءَامَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ

Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman.” Kemunafikan dimasukkan dalam kategori kufr, karena pada hakikatnya perilaku tersebut adalah kekafiran yang terselubung. Orang-orang munafiq pada dasarnya ingkar kepada Allah, Rasul, dan ajaran-ajarannya, kendatipun secara lahir mereka memakai baju mukmin. Karena itu, dalam banyak ayat orang-orang munafik diidentifikasi sebagai orang kafir. Di antara ciri-ciri orang munafik dalam al-Qur'an adalah berkepribadian goyah,  selalu bimbang, gelisah, dan sikap bermuka dua. Ia sangat sulit untuk bersatu dan menjalin persahabatan sejati, karena selalu berbuat khianat.

Kufr asy-Syirk

Syirik berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu selain diri-Nya sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan. Syirik digolongkan  sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari keesaan Tuhan, yang berarti mengingkari kemahakuasaan dan kemahasempurnaan-Nya. Dalam al-Qur'an, orang-orang musyrik terkadang ditunjuk dengan term kafir. Para ulama membagi jenis syirik menjadi syirik besar (syirk jaliy) yaitu mempersekutukan Allah seperti disebut di atas  dan syirik kecil (syirk khafiy) yaitu melakukan suatu perbuatan bukan atas dasar keikhlasan untuk mencari ridha Allah, khususnya yang berkaitan dengan amalan-amalan keagamaan, melainkan karena tujuan-tujuan lain yang bersifat keduniaan. Namun, yang banyak disoroti al-Qur'an adalah syirik dalam bentuk pertama (syirik jaliy), khususnya dalam bentuk keberhalaan (paganisme).  Syirk adalah perbuatan yang tidak diampuni oleh Allah swt., karena agama diturunkan untk menyucikan jiwa, sedangkan syirik berarti mengotori jiwa dan merendahkan akal manusia. Dari jiwa yang kotor dan akal yang rendah, akan timbul bermacam-macam kejahatan dan perilaku tak bermoral lainnya.

Kufr an-Ni'mat

Kufr an-ni'mat adalah menyalahgunakan nikmat yang diperoleh, menempatkan bukan pada tempatnya, atau memanfaatkan bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan diridhai oleh pemberi nikmat. Kecenderungan manusia mengkafiri nikmat-nikmat Tuhan tampaknya amat kuat. Ini dapat dilihat pada QS. Yunus ayat 23, di mana digambarkan bahwa ketika manusia sedang berlayar di tengah lautan lalu datang amukan badai, mereka segera berdoa kepada Tuhan: "Jika Engkau menyelamatkan kami, pastilah kami akan menjadi orang yang bersyukur". Akan tetapi, begitu Tuhan menyelamatkan mereka, mereka pun segera melupakan janji yang pernah diucapkan. Mereka kembali kafir terhadap nikmat-Nya serta berbuat zalim dan melakukan kerusakan di muka bumi.  Watak manusia seperti ini secara lebih tegas dipaparkan dalam ayat 12 surat Yunus:

وَإِذَامَسَّالْإِنْسَانَالضُّرُّدَعَانَالِجَنْبِهِأَوْقَاعِدًاأَوْقَائِمًافَلَمَّاكَشَفْنَاعَنْهُضُرَّهُمَرَّكَأَنْلَمْيَدْعُنَاإِلَىضُرٍّمَسَّهُكَذَلِكَزُيِّنَلِلْمُسْرِفِينَمَاكَانُوايَعْمَلُونَ

"Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui jalannya yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo`a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan". Untuk meredam kecenderungan kuat tersebut, Tuhan berulangkali menegaskan wajibnya manusia mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dan larangan untuk mengkafiri nikmat tersebut.

Kufr  al-Irtidad

Istilah “irtidad” atau “riddat” berakar dari kata “radd”. Menurut ar-Raghib, term riddat khusus digunakan bagi orang-orang yang  kembali kepada kekafiran sesudah beriman. Fenomena riddat yang terlihat cukup menonjol  dalam masyarakat, khususnya masyarakat modern, adalah yang berlatar belakang perkawinan campuran antar agama. Seorang muslim atau muslimat, karena kawin dengan orang non-Islam, akhirnya melepas agamanya dan menukarnya dengan agama pasangannya. Ini terjadi karena persitiwa pertukaran agama tersebut dianggap wajar saja dan tidak prinsipil.  Di samping itu, penyebab lainnya adalah kurangnya pembinaan kerohanian/keagamaan pada kebanyakan  masyarakat modern, yang keislamannya kebanyakan terbentuk oleh lingkungannya. Sifat kafir seperti ini sangat berbahaya karena dapat menggoyahkan barisan dan kekuatan kaum muslimin. Sebagai seorang muslim yang menghendaki kemurnian dalam beragama, kita haruslah menjaga benar-benar keimanan yang sudah dianugerahkan Allah ke dalam hati sanubari kita. Pintu-pintu di mana kekufuran dapat masuk harus ditutup rapat, sehingga kita dapat kembali kepada Tuhan dalam keadaan Muslim.

 
Wasiat Aqidah Imam Syafi’i

http://aqidahislam.wordpress.com/2007/03/17/wasiat-aqidah-imam-syafii/

Maret 17, 2007 pada 5:14 pm (Akidah, Al aqidah, Anti Thogut, Aqidah, Aqidah Al Islamiyah, Aqidah Dan Tauhid, Aqidah Islam, Aqidah Muslim, Aqidah Nabi Alloh, Aqidah Shohihah, Artikel, Artikel Aqidah, Artikel Islam, At Tauhid, Blogging, Bukti Dan Fakta, Dakwah, Iman, Islam, life, Muslim, REligion, Religius, Tauhid)

MediaMuslim.Info – Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun sangat disayangkan, orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adalah tokoh dari kalangan umat Islam dengan multi keahlian. Karena itu ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits). Dan Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah (pembela sunnah) dan salah seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah.

Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata: “Inilah wasiat Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Alloh Yang Maha Satu, yang tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala membalas hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi InsyaAlloh. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kalam Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Alloh Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya.

Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasullulloh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu’anhum. Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah) selama mereka mendirikan sholat. Tidak boleh membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan (kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram.

Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at, jama’ah dan sunnah (Rasullulloh Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.

Di antara yang diriwayatkan Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah: “Aku tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan mereka kepada Alloh Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Alloh Subhanahu wa Ta’ala  tidak ridha dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang baik dari umat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam  masuk Surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena rahmatNya). Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya).

Aku mengakui hak pendahulu Islam yang sholeh yang dipilih oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu ‘anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf (diam, tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu makhluk”) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang mengalami pasang surut. (Lihat Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal. 152-154, tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul Juyusyil Islamiyah, Ibnul Qayyim, 165).

Kesimpulan wasiat di atas yaitu:

  • Aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
  • Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabulloh atau Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya). Waallu a’lam. ( Manaqibusy Syafi’i, 1/470&475)
  • Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ (Alloh Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya.
    • Dalam hal sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil (membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” (Al-Mizanul Kubra, 1/60; Ijtima’ul Juyusy, 95).
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al-Qur’an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu.

Maka barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” (dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Alloh terbuka” (QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya” (QS: Al-Qashash: 88).” (Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi, 1/412-413; Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 2/702; Siyar A’lam An-Nubala’, 10/79-80; Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyah, Ibnul Qayyim, 94).

  • Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasululloh, berarti lawan dari bid’ah. Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombaknya sedang menggunung”. (Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya’rani, 1/60). Ketiga, As-Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasululloh selain Al-Qur’an.
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat: “Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/231). “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” (Al-Mizanul Kubra, 1/60)

Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hanbal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul Hadits, imam Ahli Hadits.”

(Sumber Rujukan: Al-Majmu’, Syarhul Muhazzab; Siar A’lam, 10/5-6; Tadzkiratul Huffazh, 1/361; dan sebagaimana dilihat pada setiap penggalan diatas).

 
Syirik, Dosa Terbesar dan Tak Terampuni

27 Juli 2009 pukul 13:12 · Disimpan dalam . LIHAT SELURUH ARTIKEL, 1. Mengenal Dosa-dosa Besar, 2. Bahaya Besar Syirik

Syirik itu adalah perbuatan seseorang yang meyakini bahwa selain Allah ada yang mencipta, memberi rizqi, menghidupkan, mematikan, mengetahui perkara ghaib, mengatur alam. Syirik juga berarti beribadah kepada selain Allah, seperti ruku’, sujud, menyembelih, bernadzar, berdo’a, dan lainnya. Syirik menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
[Definisi menurut Syaikh Muhammad bin Ali Al-Wushobiy-hafizhahullah, dalam Al-Qoul Al-Mufid (hal. 95), cet. Dar Ibnu Hazm]


Intinya, syirik adalah engkau menjadikan sesuatu tandingan bagi Allah baik dalam perkara uluhiyyah, rububiyyah, nama, dan sifat-sifat-Nya.

Syirik dalam perkara rububiyyah, seperti engkau meyakini bahwa ada pencipta, pemberi rizki, yang menurunkan hujan, menghidupkan dan mematikan selain Allah, mempercayai dukun alias paranormal.

Syirik dalam perkara uluhiyyah (ibadah), seperti berdo’a kepada selain Allah, takut, cinta, berharap, bertawakkal kepada selain Allah, bernadzar, menyembelih untuk selain Allah baik itu malaikat, nabi, orang shalih, jin, bintang, pepohonan, bebatuan dan, pesta laut, meminta kesembuhan, berkah, keselamatan kepada wali-wali, lain-lain. Dari sini kita mengetahui kesalahan sebagian orang yang mendefenisikan syirik terbatas hanya pada menyembah kepada berhala saja.

Syirik dalam nama dan sifat-sifat-Nya, seperti engkau meyakini bahwa ada selain Allah yang memiliki nama atau sifat-sifat yang khusus bagi Allah. Maka engkau telah berbuat syirik dalam nama dan sifat-sifat Allah.

Sebagian masyarakat kita juga tersebar kesalahan dalam mendefenisikan syirik. Mereka menyatakan bahwa syirik adalah orang yang dengki dan iri. Iri dan dengki bukanlah syirik, tapi masalah akhlak, dan ‘hanya’ tergolong dosa besar, masih lebih kecil dari dosa syirik !!

Bahaya-bahaya Syirik

1. Syirik akan Menghancurkan Segala Amalan

Banyak diantara kaum muslimin, karena jauhnya mereka dari ilmu dan agama mereka, sehingga mereka melakukan perbuatan kesyirikan yang mereka anggap sepele, bahkan memandangnya sebagai suatu perbuatan yang baik. Mereka tidak sadar bahwa syirik dapat menghapuskan segala amalan mereka.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman – mengancam para pelaku kesyirikan :

“Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka menyekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS.Al-An’am : 88).

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi) sebelummu jika kamu baerbuat syirik niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS.Az-Zumar :65 )

2. Syirik Akan Membuat Pelakunya Semakin Jauh dari Allah

Para Pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa syirik akan membuat seseorang jauh dari Allah dengan sejauh-jauhnya. Bacalah firman Allah -Ta’ala-,

“Dan barang siapa yang menyekutukan Allah maka seolah-olah ia jatuh dari langit kemudian ia disambar oleh burung atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh”. (QS. Al-Hajj:31 )

Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’diy-rahimahullah- berkata, “Barang siapa yang meninggalkan keimanan, maka ia ibarat sesuatu yang jatuh dari langit, besar kemungkinan ia mendapatkan penyakit, dan bala’; entah ia disambar burung, lalu ia tercabik-cabik berantakan. Demikian seorang yang berbuat kesyirikan, jika ia tak mau berpegang dengan keimanan, maka ia akan disambar oleh setan dari segala sisi, setan akan mencabik-cabiknya, dan akan menghilangkan agama dan dunianya”.[Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal.538)]

Orang yang berbuat syirik akan semakin tersesat hidupnya di dunia ini. Adakah kesesatan yang lebih besar daripada kesesatan seseorang yang menganggap dirinya sedang melakukan pendekatan kepada Allah, namun pada hakikatnya ia semakin terlempar jauh dari Allah. Dia mengharapkan derajatnya naik ke surga, padahal hakikatnya ia tengah turun ke jurang neraka yang paling bawa sebagai tempat kembali yang paling buruk?

Allah-Subhanahu wa Ta’la- telah kabarkan,

“Katakanlah (wahai Muhammad) apakah akan kami kabarkan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amalannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini. Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah perbuat sebaik-baiknya mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rob mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan (dengan Dia) maka terhapuslah amalan-amalan mereka dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat”. (QS. Al-Kahfi: 103-104).

Allah -Subhanahu wa Ta’la- juga berfirman,

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am:122 ).

3. Syirik Adalah Perbuatan Dosa yang Tidak Terampuni

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan (ingatlah)ketika Luqman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya,”Hai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah,sesungguhnya menyukutukan (Allah)adalah benar-benar kezholiman yang besar” (QS. Luqman:13 ).


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni selain dari dosa syirik itu bagi siapa yang dikehendakinya”. QS.An-Nisa : 48 & 116)

Ayat ini menunjukkan betapa besarnya dosa syirik ini, hingga Allah -Ta’ala- tidak mau mengampuninya. Padahal Allah -Ta’ala- memiliki ampunan yang sangat luas, rahmat dan kasih sayang yang paling sempurna; amat mencintai hamba-hamba-Nya, melebihi cintanya seorang hamba kepada dirinya sendir!! Sekalipun demikian, Allah -Ta’ala- tidak akan mengampuni dosa pelaku kesyirikan. Kenapa? Karena mereka telah berbuat zholim kepada Allah. Mereka tinggal di bumi Allah,mereka makan dari rizki Allah; mereka hidup dengan nikmat-nikmat Allah; Semua fasilitas-fasilitas yang mereka butuhkan, semua itu datangnya dari sisi Allah. Namun mereka tidak mau beribadah hanya kepada Allah -Ta’ala- semata. Mereka justru beribadah, bersyukur dan meminta kepada mahluk yang tidak memiliki apapun, walaupun hanya seekor lalat.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Aku bertanya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dosa apakah yang paling besar di sisi Allah? Beliau menjawab: “Kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang telah mencipatakan kamu”. Aku berkata: “Itu memang dosa yang sangat besar lalu apa lagi? Beliau pun menjawab: “Kamu membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu”. Aku bertanya: “Lalu apa lagi?” beliau menjawab: “Kamu berzina dengan istri tetanggamu”. [HR.Al-Bukhariy (7560) dan Muslim (86)].

Nash-nash ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada dosa yang lebih besar daripada syirik (menyekutukan Allah)

4. Diharamkan Surga bagi Pelaku Kesyirikan

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya ialah neraka tidalah ada bagi orang-orang yang dholim itu seorang penolong pun”. (QS.Al-Maidah :72 ).

Allah telah mengharamkan surga bagi setiap pelaku syirik; Allah –Subhanahu- enggan untuk menerima amalan seorang yang berbuat syirik; enggan menerima syafa’at atau menerima do’a mereka di akhirat; enggan menerima ma’af mereka”.

Mengingat sedemikian gawatnya masalah syirik, maka kita berharap mudah-mudahan Allah berkenan melindungi kita dari perbuatan syirik, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan mematikan kita di atas tauhid.

 
KEFASIKAN

Secara bahasa, kefasikan berarti al-khuruj, yaitu keluar. Sedangkan secara syara’, maksudnya adalah keluar dari ketaatan kepada Allah.

Kefasikan dibagi dalam dua jenis, yaitu:

Pertama, kefasikan yang membuat pelakunya keluar dari agama, yakni kufur. Oleh karenanya, orang-orang kafir disebut juga dengan orang fasik. Maka ketika menyebut iblis, Allah Ta’ala berfirman, “Maka ia berbuat fasik (mendurhakai) perintah Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 50).

Kedua, kefasikan yang tidak membuat seseorang keluar dari agama, sehingga orang-orang fasik dari kaum muslimin disebut dengan pelaku kemaksiatan, dan kefasikan ini tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.