IMAN KEPADA NABI & RASUL ALLAH

Seorang Muslim beriman dan percaya bahwa Allah SWT  telah memilih di antara ummat manusia sejumlah nabi dan rasul sebagai utusan-Nya kepada ummat manusia untuk menyampaikan syari’at agama Allah, untuk menyelamatkan manusia dari perselisihan dan untuk mengajak manusia kepada kebenaran.

                Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk membawa kabar gembira kepada ummat manusia tentang kenikmatan abadi yang disediakan bagi mereka yang beriman, dan memperingatkan mereka tentang akibat kekufuran (syirik). Merekapun memberi teladan untuk bertingkah laku yang baik dan mulia bagi manusia, antara lain dalam bentuk ibadah yang benar, akhlaq yang terpuji dan istiqomah (berpegang teguh) terhadap ajaran Allah SWT.

         

Pengertian Nabi dan Rasul

Walaupun tugas nabi dan rasul adalah sama dari segi tugas penyampaian wahyu, tetapi kedua istilah ini mempunyai pengertian yang berbeda. Sebagian kaum Muslimin berpendapat bahwa nabi atau rasul adalah orang yang menerima wahyu dari Allah untuk dilaksanakan terutama untuk dirinya sendiri; lalu jika ia diperintahkan Allah untuk menyampaikan wahyu itu kepada manusia, maka ia disebut rasul . Tetapi jika tidak demikian, maka ia disebut nabi.

                Pendapat ini terasa ganjil terdengar. Sebab, mungkinkah seorang nabi tidak diberikan tugas untuk menyampaikan wahyu kepada ummat  manusia? Apakah nabi hanya diutus Allah untuk melaksanakan agama Allah untuk dirinya sendiri?. Benar, bahwa nabi dan rasul, keduanya menerima wahyu dari Allah. Tetapi ada perbedaan makna yang sangat berarti dan prinsipil diantara keduanya.

            Arti Nabi adalah orang yang diwahyukan kepadanya syari’at rasul sebelumnya dan diperintahkan untuk menyampaikan syari’at itu kepada suatu kaum tertentu. Contoh untuk itu adalah nabi-nabi Bani Israil yang diutus seperti nabi-nabi Musa dan Isa. Sedangkan rasul adalah orang yang diwahyukan kepadanya suatu syari’at baru untuk disampaikan kepada kaumnya sendiri atau suatu kaum. Secara singkat dapatlah disebut bahwa rasul adalah orang yang diperintahkan untuk menyampaikan syaria’tnya sendiri, sedangkan nabi diperintahkan untuk menyampaikan syari’at rasul yang lain (rasul sebelumnya).

Allah SWT berfirman : “(Dan) Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak pula seorang nabi...”(QS Al Hajj : 52). Muhammad SAW adalah nabi dan rasul. Namun yang paling istimewa pada diri beliau adalah kenabian dan kerasulannya diutus untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk satu kaum tertentu.

                Seorang muslim wajib menyakini semua nabi dan rasul sebagaimana firman Allah SWT: “Katakanlah (kepada orang-orang mukmin) : ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang diturunkan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya, Kami tidak membeda-bedakan seroang pun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.  (QS. Al-Baqarah : 136)

 
KESESATAN

Kesesatan adalah berpaling dari jalan yang lurus. Ia menjadi lawan dari petunjuk. Kesesatan dapat dinisbatkan pada beberapa makna seperti, kekufuran, kemusyrikan, menyalahi kebenaran, kesalahan, atau lupa. “Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka sesungguhnya ia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya ia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri.” (QS. Al-Isra’: 15)
 

“KEKAFIRAN DALAM ISLAM”

Kafir atau kuffar, dalam bahasa Arab secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Lawan katanya adalah syakir, yaitu orang yang bersyukur. Kata kafir dipakai oleh Islam sebagai rujukan bagi orang-orang yang menutup diri, menolak serta mengingkari segala nikmat dari Allah SWT.

Jadi, menurut syariat Islam, manusia kafir itu bermakna:

1. Orang yang tidak beragama Islam atau orang yang tidak mau membaca syahadat.

2. Orang Islam yang tidak mau menjalankan ajaran agamanya sendiri seperti shalat, puasa, atau membayar zakat.

Dalam Al-Qur’an, kata kafir terbagi menjadi beberapa point, yaitu:

  • Kufur at-tauhid (menolak tauhid), ditujukan kepada mereka yang menolak bahwa Tuhan itu satu.
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” (QS Al Baqarah, 2:6)

  • Kufur al-ni’mah (mengingkari nikmat), ditujukan kepada mereka yang tidak mau bersyukur kepada Tuhan.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun).” (QS Al Baqarah, 2:152)

  • Kufur at-tabarri (melepaskan diri).
  • Kufur al-juhud (mengingkari sesuatu).
“…maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar (kafaru) kepadanya.” (QS Al Baqarah, 2:89)

  • Kufur at-taghtiyah (menanam/mengubur sesuatu).
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar).” (QS Al Hadid, 57:20)

Kekafiran atau kufur dalam bahasa Arab asalnya berarti penutup. Adapun dalam istilah syariat berarti lawan dari iman.

Kufur bisa terjadi karena beberapa sebab antara lain:

1. Mendustakan atau tidak mempercayai.

2. Ragu terhadap sesuatu yang jelas dalam syari’at.

3. Berpaling dari agama Allah.

4. Kemunafikan yakni menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keislaman.

5. Sombong terhadap perintah Allah `Azza wa Jalla seperti yang dilakukan iblis.

6. Tidak mau mengikrarkan kebenaran agama Allah bahkan terkadang dibarengi dengan memeranginya, padahal hatinya yakin kalau itu benar, seperti yang terjadi pada Fir’aun.

Keenam hal ini termasuk dalam kufur akbar (kufur besar) yang menjadikan pelakunya keluar dari Islam atau murtad. Terkadang kufur besar terjadi dengan ucapan atau perbuatan yang sangat bertolak belakang dengan iman seperti mencela Allah dan Rasul-Nya atau menginjak al Qur’an dalam keadaan tahu kalau itu adalah Al Qur’an dan tidak terpaksa.

Di samping yang tersebut di atas, ada pula kufur ashghar (kufur kecil), yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama atau tidak menjadikan murtad. Kufur ashghar yaitu perbuatan-perbuatan dosa yang disebut dengan istilah kekafiran dalam Al Qur’an maupun As Sunnah tapi belum mencapai derajat kufur besar.

secara umum kufr dari segi bentuknya bisa terbagi menjadi beberapa kategori, antara lain:

Kufr al-Inkar

“Kufr al-inkar” adalah kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur alam ini, megingkari para rasul-Nya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa.

Kufr al-Juhud

“Kufr al-juhud” tidak berbeda jauh dengan kufr al-inkar. Kufr al-juhud adalah mengakui dengan hati (kebenaran yang dibawa oleh Rasululah) tetapi mengingkarinya dengan lidah rasa sombong dan superioritas.

Kufr  an-Nifaq

“Kufr an-nifaq” dapat dianggap sebagai kebalikan dari  kufr al-juhud. Kalau kufr al-juhud berarti mengatahui dan menyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah, maka kufr al-nifaq mengandung arti pengakuan dengan lidah, tetapi pengingkaran dengan hati. 

Kufr asy-Syirk

Syirik berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu selain diri-Nya sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan. Syirik digolongkan  sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari keesaan Tuhan, yang berarti mengingkari kemahakuasaan dan kemahasempurnaan-Nya.

Kufr an-Ni'mat

Kufr an-ni'mat adalah menyalahgunakan nikmat yang diperoleh, menempatkan bukan pada tempatnya, atau memanfaatkan bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan diridhai oleh pemberi nikmat.

Kufr  al-Irtidad

Istilah “irtidad” atau “riddat” berakar dari kata “radd”. Menurut ar-Raghib, term riddat khusus digunakan bagi orang-orang yang  kembali kepada kekafiran sesudah beriman. Fenomena riddat yang terlihat cukup menonjol  dalam masyarakat, khususnya masyarakat modern, adalah yang berlatar belakang perkawinan campuran antar agama.

Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan oleh al-al-Qur'an adalah kufr (kekafiran). Kufr, pada dasarnya, merupakan antitesis dari iman, sedangkan iman adalah bagian dari ajaran atau aspek Islam yang paling pokok dan fundamental. Bila sistem iman rusak, maka runtuhlah bangunan agama secara keseluruhan. Di sinilah urgensi pembahasan tentang kufr. Dari segi bahasa,  kufr mengandung arti “menutupi”. Malam disebut kafir karena ia menutupi siang atau menutupi benda-benda dengan kegelapannya. Awan juga disebut kafir karena ia menutupi matahari. Demikian pula para petani terkadang disebut kafir karena ia menutupi benih dengan tanah. Secara istilah (terminologi), para ulama berbeda-beda dalam menetapkan batasan kufr.

Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengartikan kufr sebagai "pendustaan kepada Rasulullah Saw. dan  ajarannya”, sedangkan kaum Khawarij  mengartikan kufr bagi orang yang meninggalkan  ajaran dan hukum-hukum Allah. Namun, secara umum kufr dari segi bentuknya bisa terbagi menjadi beberapa kategori, antara lain:

Kufr al-Inkar

“Kufr al-inkar” adalah kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur alam ini, megingkari para rasul-Nya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa. Karena mengingkari pokok-pokok agama ini, maka mereka dikategorikan sebagai penganut ateisme, materialisme, dan naturalisme yang hanya mempercayai hal-hal yang bersifat material dan alamiah.  Menurut mereka, kehidupan ini hanya berlangsung secara alamiah, murni tanpa kendali dari luar. Hal ini diungkapkan al-Qur'an dalam surat al-Jatsiyah ayat 24: وَقَالُوامَاهِيَإِلَّاحَيَاتُنَاالدُّنْيَانَمُوتُوَنَحْيَاوَمَايُهْلِكُنَاإِلَّاالدَّهْرُوَمَالَهُمْبِذَلِكَمِنْعِلْمٍإِنْهُمْإِلَّايَظُنُّونَ

"Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati, hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." Ciri yang menonjol pada diri orang-orang kafir jenis ini adalah orientasi kehidupan mereka yang terfokus pada dunia dan kenikmatannya saja. Maka, timbullah pribadi-pribadi yang materialis dan hedonis, yakni menghargai sesuatu yang mendatangkan kenikmatan duniawi dan jasmani saja. Bagi mereka, kehidupan akhirat sama sekali tidak ada.

Kufr al-Juhud

“Kufr al-juhud” tidak berbeda jauh dengan kufr al-inkar. Kufr al-juhud adalah mengakui dengan hati (kebenaran yang dibawa oleh Rasululah) tetapi mengingkarinya dengan lidah.  Menurut Thabataba'i,  kufr al-juhud berarti pengingkaran terhadap ajara-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. Fir'aun dan kelompoknya adalah contoh  orang kafir jenis ini, sebagaimana diterangkan dalam QS. an-Naml ayat 13-14:

فَلَمَّا جَاءَتْهُمْءَايَاتُنَامُبْصِرَةًقَالُواهَذَاسِحْرٌمُبِينٌ(13)وَجَحَدُوابِهَاوَاسْتَيْقَنَتْهَاأَنْفُسُهُمْظُلْمًاوَعُلُوًّافَانْظُرْكَيْفَكَانَعَاقِبَةُالْمُفْسِدِينَ

“Maka tatkala mu`jizat-mu`jizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". Dan, mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. Maka, perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” Iblis adalah contoh lain dari kafir juhud ini. Ia sebenarnya tahu dan yakin akan kebenaran Tuhan dan hari kebangkitan, tetapi ia dikuasai oleh rasa dengki, sombong, dan angkuh, maka ia pun membangkang kepada Tuhan. Maka, ciri dari kufr jenis ini adalah rasa sombong dan superioritas.

Kufr  an-Nifaq

“Kufr an-nifaq” dapat dianggap sebagai kebalikan dari  kufr al-juhud. Kalau kufr al-juhud berarti mengatahui dan menyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah, maka kufr al-nifaq mengandung arti pengakuan dengan lidah, tetapi pengingkaran dengan hati.  Hal ini didasarkan pada firman Allah surat al-Ma'idah ayat 41 :

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا ءَامَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ

"Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman.” Kemunafikan dimasukkan dalam kategori kufr, karena pada hakikatnya perilaku tersebut adalah kekafiran yang terselubung. Orang-orang munafiq pada dasarnya ingkar kepada Allah, Rasul, dan ajaran-ajarannya, kendatipun secara lahir mereka memakai baju mukmin. Karena itu, dalam banyak ayat orang-orang munafik diidentifikasi sebagai orang kafir. Di antara ciri-ciri orang munafik dalam al-Qur'an adalah berkepribadian goyah,  selalu bimbang, gelisah, dan sikap bermuka dua. Ia sangat sulit untuk bersatu dan menjalin persahabatan sejati, karena selalu berbuat khianat.

Kufr asy-Syirk

Syirik berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu selain diri-Nya sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan. Syirik digolongkan  sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari keesaan Tuhan, yang berarti mengingkari kemahakuasaan dan kemahasempurnaan-Nya. Dalam al-Qur'an, orang-orang musyrik terkadang ditunjuk dengan term kafir. Para ulama membagi jenis syirik menjadi syirik besar (syirk jaliy) yaitu mempersekutukan Allah seperti disebut di atas  dan syirik kecil (syirk khafiy) yaitu melakukan suatu perbuatan bukan atas dasar keikhlasan untuk mencari ridha Allah, khususnya yang berkaitan dengan amalan-amalan keagamaan, melainkan karena tujuan-tujuan lain yang bersifat keduniaan. Namun, yang banyak disoroti al-Qur'an adalah syirik dalam bentuk pertama (syirik jaliy), khususnya dalam bentuk keberhalaan (paganisme).  Syirk adalah perbuatan yang tidak diampuni oleh Allah swt., karena agama diturunkan untk menyucikan jiwa, sedangkan syirik berarti mengotori jiwa dan merendahkan akal manusia. Dari jiwa yang kotor dan akal yang rendah, akan timbul bermacam-macam kejahatan dan perilaku tak bermoral lainnya.

Kufr an-Ni'mat

Kufr an-ni'mat adalah menyalahgunakan nikmat yang diperoleh, menempatkan bukan pada tempatnya, atau memanfaatkan bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan diridhai oleh pemberi nikmat. Kecenderungan manusia mengkafiri nikmat-nikmat Tuhan tampaknya amat kuat. Ini dapat dilihat pada QS. Yunus ayat 23, di mana digambarkan bahwa ketika manusia sedang berlayar di tengah lautan lalu datang amukan badai, mereka segera berdoa kepada Tuhan: "Jika Engkau menyelamatkan kami, pastilah kami akan menjadi orang yang bersyukur". Akan tetapi, begitu Tuhan menyelamatkan mereka, mereka pun segera melupakan janji yang pernah diucapkan. Mereka kembali kafir terhadap nikmat-Nya serta berbuat zalim dan melakukan kerusakan di muka bumi.  Watak manusia seperti ini secara lebih tegas dipaparkan dalam ayat 12 surat Yunus:

وَإِذَامَسَّالْإِنْسَانَالضُّرُّدَعَانَالِجَنْبِهِأَوْقَاعِدًاأَوْقَائِمًافَلَمَّاكَشَفْنَاعَنْهُضُرَّهُمَرَّكَأَنْلَمْيَدْعُنَاإِلَىضُرٍّمَسَّهُكَذَلِكَزُيِّنَلِلْمُسْرِفِينَمَاكَانُوايَعْمَلُونَ

"Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui jalannya yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo`a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan". Untuk meredam kecenderungan kuat tersebut, Tuhan berulangkali menegaskan wajibnya manusia mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dan larangan untuk mengkafiri nikmat tersebut.

Kufr  al-Irtidad

Istilah “irtidad” atau “riddat” berakar dari kata “radd”. Menurut ar-Raghib, term riddat khusus digunakan bagi orang-orang yang  kembali kepada kekafiran sesudah beriman. Fenomena riddat yang terlihat cukup menonjol  dalam masyarakat, khususnya masyarakat modern, adalah yang berlatar belakang perkawinan campuran antar agama. Seorang muslim atau muslimat, karena kawin dengan orang non-Islam, akhirnya melepas agamanya dan menukarnya dengan agama pasangannya. Ini terjadi karena persitiwa pertukaran agama tersebut dianggap wajar saja dan tidak prinsipil.  Di samping itu, penyebab lainnya adalah kurangnya pembinaan kerohanian/keagamaan pada kebanyakan  masyarakat modern, yang keislamannya kebanyakan terbentuk oleh lingkungannya. Sifat kafir seperti ini sangat berbahaya karena dapat menggoyahkan barisan dan kekuatan kaum muslimin. Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan oleh al-al-Qur'an adalah kufr (kekafiran). Kufr, pada dasarnya, merupakan antitesis dari iman, sedangkan iman adalah bagian dari ajaran atau aspek Islam yang paling pokok dan fundamental. Bila sistem iman rusak, maka runtuhlah bangunan agama secara keseluruhan. Di sinilah urgensi pembahasan tentang kufr. Dari segi bahasa,  kufr mengandung arti “menutupi”. Malam disebut kafir karena ia menutupi siang atau menutupi benda-benda dengan kegelapannya. Awan juga disebut kafir karena ia menutupi matahari. Demikian pula para petani terkadang disebut kafir karena ia menutupi benih dengan tanah. Secara istilah (terminologi), para ulama berbeda-beda dalam menetapkan batasan kufr. Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mengartikan kufr sebagai "pendustaan kepada Rasulullah Saw. dan  ajarannya”, sedangkan kaum Khawarij  mengartikan kufr bagi orang yang meninggalkan  ajaran dan hukum-hukum Allah. Namun, secara umum kufr dari segi bentuknya bisa terbagi menjadi beberapa kategori, antara lain:

Kufr al-Inkar

“Kufr al-inkar” adalah kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur alam ini, megingkari para rasul-Nya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa. Karena mengingkari pokok-pokok agama ini, maka mereka dikategorikan sebagai penganut ateisme, materialisme, dan naturalisme yang hanya mempercayai hal-hal yang bersifat material dan alamiah.  Menurut mereka, kehidupan ini hanya berlangsung secara alamiah, murni tanpa kendali dari luar. Hal ini diungkapkan al-Qur'an dalam surat al-Jatsiyah ayat 24: وَقَالُوامَاهِيَإِلَّاحَيَاتُنَاالدُّنْيَانَمُوتُوَنَحْيَاوَمَايُهْلِكُنَاإِلَّاالدَّهْرُوَمَالَهُمْبِذَلِكَمِنْعِلْمٍإِنْهُمْإِلَّايَظُنُّونَ

"Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati, hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." Ciri yang menonjol pada diri orang-orang kafir jenis ini adalah orientasi kehidupan mereka yang terfokus pada dunia dan kenikmatannya saja. Maka, timbullah pribadi-pribadi yang materialis dan hedonis, yakni menghargai sesuatu yang mendatangkan kenikmatan duniawi dan jasmani saja. Bagi mereka, kehidupan akhirat sama sekali tidak ada.

Kufr al-Juhud

“Kufr al-juhud” tidak berbeda jauh dengan kufr al-inkar. Kufr al-juhud adalah mengakui dengan hati (kebenaran yang dibawa oleh Rasululah) tetapi mengingkarinya dengan lidah.  Menurut Thabataba'i,  kufr al-juhud berarti pengingkaran terhadap ajara-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. Fir'aun dan kelompoknya adalah contoh  orang kafir jenis ini, sebagaimana diterangkan dalam QS. an-Naml ayat 13-14: فَلَمَّا جَاءَتْهُمْءَايَاتُنَامُبْصِرَةًقَالُواهَذَاسِحْرٌمُبِينٌ(13)وَجَحَدُوابِهَاوَاسْتَيْقَنَتْهَاأَنْفُسُهُمْظُلْمًاوَعُلُوًّافَانْظُرْكَيْفَكَانَعَاقِبَةُالْمُفْسِدِينَ

“Maka tatkala mu`jizat-mu`jizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". Dan, mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. Maka, perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” Iblis adalah contoh lain dari kafir juhud ini. Ia sebenarnya tahu dan yakin akan kebenaran Tuhan dan hari kebangkitan, tetapi ia dikuasai oleh rasa dengki, sombong, dan angkuh, maka ia pun membangkang kepada Tuhan. Maka, ciri dari kufr jenis ini adalah rasa sombong dan superioritas.

Kufr  an-Nifaq

“Kufr an-nifaq” dapat dianggap sebagai kebalikan dari  kufr al-juhud. Kalau kufr al-juhud berarti mengatahui dan menyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah, maka kufr al-nifaq mengandung arti pengakuan dengan lidah, tetapi pengingkaran dengan hati.  Hal ini didasarkan pada firman Allah surat al-Ma'idah ayat 41 : يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا ءَامَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ

Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman.” Kemunafikan dimasukkan dalam kategori kufr, karena pada hakikatnya perilaku tersebut adalah kekafiran yang terselubung. Orang-orang munafiq pada dasarnya ingkar kepada Allah, Rasul, dan ajaran-ajarannya, kendatipun secara lahir mereka memakai baju mukmin. Karena itu, dalam banyak ayat orang-orang munafik diidentifikasi sebagai orang kafir. Di antara ciri-ciri orang munafik dalam al-Qur'an adalah berkepribadian goyah,  selalu bimbang, gelisah, dan sikap bermuka dua. Ia sangat sulit untuk bersatu dan menjalin persahabatan sejati, karena selalu berbuat khianat.

Kufr asy-Syirk

Syirik berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu selain diri-Nya sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan. Syirik digolongkan  sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari keesaan Tuhan, yang berarti mengingkari kemahakuasaan dan kemahasempurnaan-Nya. Dalam al-Qur'an, orang-orang musyrik terkadang ditunjuk dengan term kafir. Para ulama membagi jenis syirik menjadi syirik besar (syirk jaliy) yaitu mempersekutukan Allah seperti disebut di atas  dan syirik kecil (syirk khafiy) yaitu melakukan suatu perbuatan bukan atas dasar keikhlasan untuk mencari ridha Allah, khususnya yang berkaitan dengan amalan-amalan keagamaan, melainkan karena tujuan-tujuan lain yang bersifat keduniaan. Namun, yang banyak disoroti al-Qur'an adalah syirik dalam bentuk pertama (syirik jaliy), khususnya dalam bentuk keberhalaan (paganisme).  Syirk adalah perbuatan yang tidak diampuni oleh Allah swt., karena agama diturunkan untk menyucikan jiwa, sedangkan syirik berarti mengotori jiwa dan merendahkan akal manusia. Dari jiwa yang kotor dan akal yang rendah, akan timbul bermacam-macam kejahatan dan perilaku tak bermoral lainnya.

Kufr an-Ni'mat

Kufr an-ni'mat adalah menyalahgunakan nikmat yang diperoleh, menempatkan bukan pada tempatnya, atau memanfaatkan bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan diridhai oleh pemberi nikmat. Kecenderungan manusia mengkafiri nikmat-nikmat Tuhan tampaknya amat kuat. Ini dapat dilihat pada QS. Yunus ayat 23, di mana digambarkan bahwa ketika manusia sedang berlayar di tengah lautan lalu datang amukan badai, mereka segera berdoa kepada Tuhan: "Jika Engkau menyelamatkan kami, pastilah kami akan menjadi orang yang bersyukur". Akan tetapi, begitu Tuhan menyelamatkan mereka, mereka pun segera melupakan janji yang pernah diucapkan. Mereka kembali kafir terhadap nikmat-Nya serta berbuat zalim dan melakukan kerusakan di muka bumi.  Watak manusia seperti ini secara lebih tegas dipaparkan dalam ayat 12 surat Yunus:

وَإِذَامَسَّالْإِنْسَانَالضُّرُّدَعَانَالِجَنْبِهِأَوْقَاعِدًاأَوْقَائِمًافَلَمَّاكَشَفْنَاعَنْهُضُرَّهُمَرَّكَأَنْلَمْيَدْعُنَاإِلَىضُرٍّمَسَّهُكَذَلِكَزُيِّنَلِلْمُسْرِفِينَمَاكَانُوايَعْمَلُونَ

"Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui jalannya yang sesat, seolah-olah dia tidak pernah berdo`a kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan". Untuk meredam kecenderungan kuat tersebut, Tuhan berulangkali menegaskan wajibnya manusia mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dan larangan untuk mengkafiri nikmat tersebut.

Kufr  al-Irtidad

Istilah “irtidad” atau “riddat” berakar dari kata “radd”. Menurut ar-Raghib, term riddat khusus digunakan bagi orang-orang yang  kembali kepada kekafiran sesudah beriman. Fenomena riddat yang terlihat cukup menonjol  dalam masyarakat, khususnya masyarakat modern, adalah yang berlatar belakang perkawinan campuran antar agama. Seorang muslim atau muslimat, karena kawin dengan orang non-Islam, akhirnya melepas agamanya dan menukarnya dengan agama pasangannya. Ini terjadi karena persitiwa pertukaran agama tersebut dianggap wajar saja dan tidak prinsipil.  Di samping itu, penyebab lainnya adalah kurangnya pembinaan kerohanian/keagamaan pada kebanyakan  masyarakat modern, yang keislamannya kebanyakan terbentuk oleh lingkungannya. Sifat kafir seperti ini sangat berbahaya karena dapat menggoyahkan barisan dan kekuatan kaum muslimin. Sebagai seorang muslim yang menghendaki kemurnian dalam beragama, kita haruslah menjaga benar-benar keimanan yang sudah dianugerahkan Allah ke dalam hati sanubari kita. Pintu-pintu di mana kekufuran dapat masuk harus ditutup rapat, sehingga kita dapat kembali kepada Tuhan dalam keadaan Muslim.

 
Wasiat Aqidah Imam Syafi’i

http://aqidahislam.wordpress.com/2007/03/17/wasiat-aqidah-imam-syafii/

Maret 17, 2007 pada 5:14 pm (Akidah, Al aqidah, Anti Thogut, Aqidah, Aqidah Al Islamiyah, Aqidah Dan Tauhid, Aqidah Islam, Aqidah Muslim, Aqidah Nabi Alloh, Aqidah Shohihah, Artikel, Artikel Aqidah, Artikel Islam, At Tauhid, Blogging, Bukti Dan Fakta, Dakwah, Iman, Islam, life, Muslim, REligion, Religius, Tauhid)

MediaMuslim.Info – Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun sangat disayangkan, orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal beliau adalah tokoh dari kalangan umat Islam dengan multi keahlian. Karena itu ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits). Dan Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah (pembela sunnah) dan salah seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah.

Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata: “Inilah wasiat Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Alloh Yang Maha Satu, yang tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala membalas hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi InsyaAlloh. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kalam Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Alloh Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya.

Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasullulloh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu’anhum. Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah) selama mereka mendirikan sholat. Tidak boleh membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan (kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram.

Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at, jama’ah dan sunnah (Rasullulloh Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.

Di antara yang diriwayatkan Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah: “Aku tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan mereka kepada Alloh Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Alloh Subhanahu wa Ta’ala  tidak ridha dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang baik dari umat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam  masuk Surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena rahmatNya). Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya).

Aku mengakui hak pendahulu Islam yang sholeh yang dipilih oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu ‘anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf (diam, tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu makhluk”) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang mengalami pasang surut. (Lihat Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal. 152-154, tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul Juyusyil Islamiyah, Ibnul Qayyim, 165).

Kesimpulan wasiat di atas yaitu:

  • Aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
  • Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabulloh atau Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya). Waallu a’lam. ( Manaqibusy Syafi’i, 1/470&475)
  • Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ (Alloh Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya.
    • Dalam hal sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil (membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” (Al-Mizanul Kubra, 1/60; Ijtima’ul Juyusy, 95).
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada umatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al-Qur’an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu.

Maka barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” (dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Alloh terbuka” (QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya” (QS: Al-Qashash: 88).” (Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi, 1/412-413; Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, Al-Lalikai, 2/702; Siyar A’lam An-Nubala’, 10/79-80; Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyah, Ibnul Qayyim, 94).

  • Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasululloh, berarti lawan dari bid’ah. Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombaknya sedang menggunung”. (Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya’rani, 1/60). Ketiga, As-Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasululloh selain Al-Qur’an.
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat: “Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.” (Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/231). “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” (Al-Mizanul Kubra, 1/60)

Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hanbal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul Hadits, imam Ahli Hadits.”

(Sumber Rujukan: Al-Majmu’, Syarhul Muhazzab; Siar A’lam, 10/5-6; Tadzkiratul Huffazh, 1/361; dan sebagaimana dilihat pada setiap penggalan diatas).

 
Syirik, Dosa Terbesar dan Tak Terampuni

27 Juli 2009 pukul 13:12 · Disimpan dalam . LIHAT SELURUH ARTIKEL, 1. Mengenal Dosa-dosa Besar, 2. Bahaya Besar Syirik

Syirik itu adalah perbuatan seseorang yang meyakini bahwa selain Allah ada yang mencipta, memberi rizqi, menghidupkan, mematikan, mengetahui perkara ghaib, mengatur alam. Syirik juga berarti beribadah kepada selain Allah, seperti ruku’, sujud, menyembelih, bernadzar, berdo’a, dan lainnya. Syirik menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam.
[Definisi menurut Syaikh Muhammad bin Ali Al-Wushobiy-hafizhahullah, dalam Al-Qoul Al-Mufid (hal. 95), cet. Dar Ibnu Hazm]


Intinya, syirik adalah engkau menjadikan sesuatu tandingan bagi Allah baik dalam perkara uluhiyyah, rububiyyah, nama, dan sifat-sifat-Nya.

Syirik dalam perkara rububiyyah, seperti engkau meyakini bahwa ada pencipta, pemberi rizki, yang menurunkan hujan, menghidupkan dan mematikan selain Allah, mempercayai dukun alias paranormal.

Syirik dalam perkara uluhiyyah (ibadah), seperti berdo’a kepada selain Allah, takut, cinta, berharap, bertawakkal kepada selain Allah, bernadzar, menyembelih untuk selain Allah baik itu malaikat, nabi, orang shalih, jin, bintang, pepohonan, bebatuan dan, pesta laut, meminta kesembuhan, berkah, keselamatan kepada wali-wali, lain-lain. Dari sini kita mengetahui kesalahan sebagian orang yang mendefenisikan syirik terbatas hanya pada menyembah kepada berhala saja.

Syirik dalam nama dan sifat-sifat-Nya, seperti engkau meyakini bahwa ada selain Allah yang memiliki nama atau sifat-sifat yang khusus bagi Allah. Maka engkau telah berbuat syirik dalam nama dan sifat-sifat Allah.

Sebagian masyarakat kita juga tersebar kesalahan dalam mendefenisikan syirik. Mereka menyatakan bahwa syirik adalah orang yang dengki dan iri. Iri dan dengki bukanlah syirik, tapi masalah akhlak, dan ‘hanya’ tergolong dosa besar, masih lebih kecil dari dosa syirik !!

Bahaya-bahaya Syirik

1. Syirik akan Menghancurkan Segala Amalan

Banyak diantara kaum muslimin, karena jauhnya mereka dari ilmu dan agama mereka, sehingga mereka melakukan perbuatan kesyirikan yang mereka anggap sepele, bahkan memandangnya sebagai suatu perbuatan yang baik. Mereka tidak sadar bahwa syirik dapat menghapuskan segala amalan mereka.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman – mengancam para pelaku kesyirikan :

“Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka menyekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS.Al-An’am : 88).

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi) sebelummu jika kamu baerbuat syirik niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS.Az-Zumar :65 )

2. Syirik Akan Membuat Pelakunya Semakin Jauh dari Allah

Para Pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa syirik akan membuat seseorang jauh dari Allah dengan sejauh-jauhnya. Bacalah firman Allah -Ta’ala-,

“Dan barang siapa yang menyekutukan Allah maka seolah-olah ia jatuh dari langit kemudian ia disambar oleh burung atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh”. (QS. Al-Hajj:31 )

Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’diy-rahimahullah- berkata, “Barang siapa yang meninggalkan keimanan, maka ia ibarat sesuatu yang jatuh dari langit, besar kemungkinan ia mendapatkan penyakit, dan bala’; entah ia disambar burung, lalu ia tercabik-cabik berantakan. Demikian seorang yang berbuat kesyirikan, jika ia tak mau berpegang dengan keimanan, maka ia akan disambar oleh setan dari segala sisi, setan akan mencabik-cabiknya, dan akan menghilangkan agama dan dunianya”.[Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal.538)]

Orang yang berbuat syirik akan semakin tersesat hidupnya di dunia ini. Adakah kesesatan yang lebih besar daripada kesesatan seseorang yang menganggap dirinya sedang melakukan pendekatan kepada Allah, namun pada hakikatnya ia semakin terlempar jauh dari Allah. Dia mengharapkan derajatnya naik ke surga, padahal hakikatnya ia tengah turun ke jurang neraka yang paling bawa sebagai tempat kembali yang paling buruk?

Allah-Subhanahu wa Ta’la- telah kabarkan,

“Katakanlah (wahai Muhammad) apakah akan kami kabarkan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amalannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini. Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah perbuat sebaik-baiknya mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rob mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan (dengan Dia) maka terhapuslah amalan-amalan mereka dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat”. (QS. Al-Kahfi: 103-104).

Allah -Subhanahu wa Ta’la- juga berfirman,

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am:122 ).

3. Syirik Adalah Perbuatan Dosa yang Tidak Terampuni

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan (ingatlah)ketika Luqman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya,”Hai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah,sesungguhnya menyukutukan (Allah)adalah benar-benar kezholiman yang besar” (QS. Luqman:13 ).


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni selain dari dosa syirik itu bagi siapa yang dikehendakinya”. QS.An-Nisa : 48 & 116)

Ayat ini menunjukkan betapa besarnya dosa syirik ini, hingga Allah -Ta’ala- tidak mau mengampuninya. Padahal Allah -Ta’ala- memiliki ampunan yang sangat luas, rahmat dan kasih sayang yang paling sempurna; amat mencintai hamba-hamba-Nya, melebihi cintanya seorang hamba kepada dirinya sendir!! Sekalipun demikian, Allah -Ta’ala- tidak akan mengampuni dosa pelaku kesyirikan. Kenapa? Karena mereka telah berbuat zholim kepada Allah. Mereka tinggal di bumi Allah,mereka makan dari rizki Allah; mereka hidup dengan nikmat-nikmat Allah; Semua fasilitas-fasilitas yang mereka butuhkan, semua itu datangnya dari sisi Allah. Namun mereka tidak mau beribadah hanya kepada Allah -Ta’ala- semata. Mereka justru beribadah, bersyukur dan meminta kepada mahluk yang tidak memiliki apapun, walaupun hanya seekor lalat.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Aku bertanya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dosa apakah yang paling besar di sisi Allah? Beliau menjawab: “Kamu menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang telah mencipatakan kamu”. Aku berkata: “Itu memang dosa yang sangat besar lalu apa lagi? Beliau pun menjawab: “Kamu membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu”. Aku bertanya: “Lalu apa lagi?” beliau menjawab: “Kamu berzina dengan istri tetanggamu”. [HR.Al-Bukhariy (7560) dan Muslim (86)].

Nash-nash ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada dosa yang lebih besar daripada syirik (menyekutukan Allah)

4. Diharamkan Surga bagi Pelaku Kesyirikan

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya ialah neraka tidalah ada bagi orang-orang yang dholim itu seorang penolong pun”. (QS.Al-Maidah :72 ).

Allah telah mengharamkan surga bagi setiap pelaku syirik; Allah –Subhanahu- enggan untuk menerima amalan seorang yang berbuat syirik; enggan menerima syafa’at atau menerima do’a mereka di akhirat; enggan menerima ma’af mereka”.

Mengingat sedemikian gawatnya masalah syirik, maka kita berharap mudah-mudahan Allah berkenan melindungi kita dari perbuatan syirik, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan mematikan kita di atas tauhid.

 
KEFASIKAN

Secara bahasa, kefasikan berarti al-khuruj, yaitu keluar. Sedangkan secara syara’, maksudnya adalah keluar dari ketaatan kepada Allah.

Kefasikan dibagi dalam dua jenis, yaitu:

Pertama, kefasikan yang membuat pelakunya keluar dari agama, yakni kufur. Oleh karenanya, orang-orang kafir disebut juga dengan orang fasik. Maka ketika menyebut iblis, Allah Ta’ala berfirman, “Maka ia berbuat fasik (mendurhakai) perintah Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 50).

Kedua, kefasikan yang tidak membuat seseorang keluar dari agama, sehingga orang-orang fasik dari kaum muslimin disebut dengan pelaku kemaksiatan, dan kefasikan ini tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.


 
RIDDAH

Secara bahasa, riddah berarti kembali. Dan menurut istilah syar’i berarti kufur setelah Islam, “Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)

Riddah memiliki beberapa jenis, yaitu:

Pertama, riddah dengan ucapan. Riddah jenis ini misalnya mencaci Allah atau rasul-Nya, mengakui ilmu ghaib, atau membenarkan seseorang yang mengaku sebagai nabi.

Kedua, riddah dengan perbuatan. Misalnya sujud kepada berhala, membuang mushaf Al-Qur’an, melakukan sihir, serta memutuskan suatu perkara dengan menggunakan hukum selain hukum Allah.

Ketiga, riddah dengan keraguan tentang sesuatu yang telah jelas hukumnya, seperti ragu akan keharaman zina atau khamr, ragu terhadap kebenaran ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ragu tentang kewajiban shalat lima waktu, atau ragu terhadap Islam sebagai agama yang paling benar.

Keempat, riddah terhadap I’tiqad (keyakinan). Misalnya seperti keyakinan bolehnya menyekutukan Allah.

Konsekuensi Hukum Bagi Seseorang yang Murtad

1. Pelakunya diminta untuk bertaubat. Jika ia bertaubat dan kembali masuk Islam dalam masa tiga hari, maka taubatnya diterima kemudian ia dibiarkan (tidak dibunuh).

2. Jika ia tidak mau bertaubat, maka ia wajib dibunuh berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah ia.” (HR. Bukhari, Abu Daud)

3. Dilarang membelanjakan hartanya di saat ia dalam masa diminta bertaubat. Jika ia kembali masuk Islam, maka harta itu tetap menjadi miliknya. Sedangkan bila ia tetap dalam kemurtadannya, maka harta itu menjadi harta rampasan (fa’i) baitul mal sejak ia dibunuh karena kemurtadannya. Pendapat lain mengatakan bahwa ketika ia telah jelas kemurtadannya, maka hartanya dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin.

4. Terputusnya hak waris mewarisi antara dirinya dengan keluarganya. Ia tidak mewarisi harta keluarganya, dan keluarganya tidak mewarisi hartanya.

5. Jika ia mati dalam keadaan murtad, maka tidak boleh ia dimandikan, disolatkan, dan tidak pula dikubur dalam pekuburan kaum muslimin. Sebaiknya ia dikubur bersama orang-orang kafir, atau dikubur di tanah manapun selama bukan dalam wilayah pekuburan kaum muslimin.



 
JAHILIYAH

Jahiliyah adalah keadaan yang ada pada bangsa Arab sebelum Islam datang, yaitu kebodohan tentang Allah, rasul-rasul-Nya, dan syariat agama. Jahiliyah berasal dari kata al-jahl yang berarti ketiadaan ilmu. Jahiliah terbagi menjadi dua bagian.

Pertama, jahiliah yang bersifat umum, yaitu sifat jahiliah yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah berakhir dengan diutusnya beliau.

Kedua, jahiliah khusus, yaitu kejahiliahan yang terjadi pada sebagian Negara, daerah, maupun orang. Oleh karenanya, merupakan suatu kesalahan ketika ada seseorang yang menggeneralisasi kejahiliahan yang terjadi pada zaman sekarang. Sikap yang benar adalah dengan mengatakan kejahiliahan yang terjadi pada sebagian Negara atau sebagian orang di zaman ini. Adapun menggeneralisasi kejahiliahan, maka hal tersebut tidak dibenarkan, sebab dengan diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berarti kejahiliahan secara umum telah hilang.
 
NIFAQ

Nifaq secara bahasa berasal dari kata nafiqa’, yaitu salah satu lubang tempat keluarnya yarbu (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, jika ia dicari di satu lubang, maka ia akan muncul dari lubang yang lain. Menurut syara’, nifaq berarti menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan.

1. Nifaq I’tiqadi (keyakinan)

Nifaq I’tiqadi merupakan jenis nifaq besar. Pelaku nifaq jenis ini secara lahiriah menampakkan keislaman, tetapi di dalam hatinya menyembunyikan kekufuran. Nifaq I’tiqadi menjadikan pelakunya keluar dari agama dan kelak ia berada di kerak neraka. Orang-orang munafik jenis ini akan selalu ada pada setiap zaman. Apalagi ketika kekuatan Islam mulai muncul. Dalam keadaan seperti itu, biasanya mereka akan masuk ke dalam Islam untuk melakukan tipu daya agar jiwa dan harta mereka terselamatkan. Nifaq jenis ini ada beberapa macam:

Pertama, mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa.

Kedua, membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau membenci sebagian apa yang beliau bawa.

Ketiga, merasa gembira dengan kemunduran agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keempat, tidak senang dengan kemenangan agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

2. Nifaq ‘Amali (perbuatan)

Nifaq amali yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafik, tetapi masih tetap ada keimanan di dalam hatinya. Nifaq jenis ini tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agama, akan tetapi menjadi perantara kepada nifaq yang lebih besar. Terkadang pada diri seseorang terkumpul kebiasaan-kebiasaan baik dan buruk. Oleh karenanya, ia akan mendapat konsekuensi sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat.


 
KUFUR

Kufur secara bahasa berarti menutupi, sedangkan menurut syara’ berarti tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.

1. Kufur Besar

Perbuatan kufur besar dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Adapun jenis-jenis kufur, yaitu:

Pertama, kufur karena mendustakan, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau mendustakan kebenaran tatkala yang haq itu datang kepadanya? Bukankah dalah neraka jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?” (QS. Al-Ankabut: 68)

Kedua, kufur karena enggan dan sombong, padahal ia membenarkannya. “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Tunduklah kamu kepada Adam.’ Lalu mereka tunduk kecuali iblis, ia enggan dan congkak. Dan ia adalah termasuk orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Ketiga, kufur karena ragu.

Keempat, kufur karena berpaling, “Dan orang-orang kafir itu berpaling dari peringatan yang disampaikan kepada mereka.” (QS. Al-Ahqaf: 3)

Kelima, kufur karena nifaq, “Yang demikian itu adalah karena mereka beriman (secara lahirnya), lalu kafir (secara batinnya), kemudian hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti.” (Al-Munafiqun: 3)

2. Kufur Kecil

Kufur kecil yaitu kufur yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, serta ia termasuk kufur amali. Kufur amali ialah dosa-dosa yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar, seperti kufur nikmat dan sebagainya. “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl: 83)

Termasuk juga membunuh kaum muslimin, “Mencaci orang Islam adalah suatu kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah suatu kekufuran.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian juga dengan bersumpah dengan nama selain Allah, “Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur dan syirik.” (HR. At-Tirmidzi)

Namun demikian, Allah tetap menjadikan para pelaku dosa tersebut sebagai orang-orang yang beriman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah: 178)

Dengan demikian, maka perbedaan antara kufur besar dan kufur kecil yaitu:

1. Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan pahala dari amal-amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam dan tidak pula menghapus pahala amal-amalnya, tetapi bisa mengurangi pahala sesuai dengan kadar kekufuran yang dilakukannya serta pelakunya tetap dikenai ancaman.

2. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal dalam neraka, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya kekal di neraka. Bahkan bisa saja Allah mengampuni pelaku dari kufur kecil tersebut sehingga ia pun tidak masuk ke dalam neraka.

3. Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak dikenai sanksi demikian.

4. Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesungguhnya, antara pelakunya dengan orang-orang beriman. Kaum mukmin tidaklah boleh mencintai dan setia kepadanya, walaupun ia adalah keluarga dekat. Adapun kufur kecil, maka pelakunya tetap dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, serta dibenci sesuai dengan kadar kemaksiatan yang dilakukannya.